2009/08/06

Pertemuan


SUATU hari seorang bocah menemukan seorang pria tua sedang duduk di taman di pinggir danau.

Siapa laki-laki itu? Sedang apakah pria tua itu di sini?

Tetap bertanya-tanya, ia mencoba mendekati si pria tua. Ia lalu memanjat pohon dan mengintai pria tua itu dari sana. 

Sang pria tua duduk di kursi taman, memegang buku sketsa di tangan. Tangan tuanya masih dengan lincah melukis pada buku sketsa. Pada lembar yang terlihat, terdapat taman dan danau yang indah—tetapi lebih indah daripada taman dan danau saat itu. Taman dan danau yang sama dengan tempat mereka berada.

Di taman dan danau di sketsa itu ada kursi taman yang persis seperti kursi taman pada kejadian sore itu; seorang gadis yang duduk di sana, dan seekor anjing kecil menemaninya di sisinya: dengan lidah menjulur dan ekor bergoyang-goyang cepat. Di langit di sketsa itu, matahari sedang terbenam. Di sudut sebelah kanan, terdapat tulisan kanji besar-besar, bertuliskan: Pertemuan.

“Mengapa mengintip saja?” Pria tua itu berkata, tanpa sebelumnya sempat menoleh ke arah bocah yang sedang mengamatinya dari atas pohon, “Turunlah, duduklah di sampingku,” lanjutnya.

Mata bocah itu melebar. Iakah yang dimaksud? Tapi bagaimana bisa pria tua itu mengetahui kehadirannya tanpa sedikit pun mengalihkan pandang?

“Apa kabarmu?” Pria tua itu bertanya ketika si bocah sudah turun dan berjalan ke arahnya.

“Ba… baik. Bagaimana Kakek tahu, aku sedang memperhatikan Kakek dari sana?”

“Duduklah, aku sudah lama tidak berbincang dengan diriku sendiri.”

Di… dirinya sendiri?

Bocah itu mengambil tempat di sisi pria tua.

“Kau tahu siapa aku?” Pria tua itu kemudian bertanya lagi.

Bocah menggeleng, “Bagaimana aku bisa tahu?”

“Apa kau tidak melihat kemiripan di wajah kita?”

Bocah itu mengamati. Memang mirip, sedikit mirip. Lalu apa artinya—terdapat keterkaitan di antara mereka?

“Sungguh-sungguh tak mengenali siapa aku?”

Bocah itu menimbang-nimbang, “Apa Kakek sedang mempermainkanku?”

Pria tua itu tersenyum, “Pilihlah satu dari dua kemungkinan. Aku adalah malaikat pelindungmu yang selalu ada di sisimu ataukah aku adalah dirimu dari waktu yang berbeda. Tebakanmu betul, kuberikan kau sebungkus manisan cokelat kesukaanmu.”

Pria tua itu mengangkat sebungkus cokelat dari dalam kopernya yang lusuh lalu meletakkan bungkusan itu di pangkuan si bocah.

“Kenapa aku harus menebak?”

“Karena aku akan memberimu hadiah jika tebakanmu betul.”

“Tapi kedua pilihan yang Kakek berikan, bagiku tidak masuk akal.”

Pria tua itu berdeham sejenak, “Apa kau tak percaya kepada malaikat pelindung?”

“Kenapa aku harus percaya?”

“Karena mereka ada. Benar-benar ada. Baiklah, kau membuatku kalah,” ujar si pria tua. “Aku malaikat pelindungmu.”

“Aku tak percaya.”

“Kalau kau percaya, kuberikan sebungkus manisan cokelat itu cuma-cuma untukmu.”

“Aku tidak menerima makanan dari orang asing. Terima kasih.” Bocah itu mengembalikan bungkusan merah itu kepada si pria tua. “Sekarang katakan mengapa Kakek mesti berbohong kepadaku…”

“Setiap anak kecil di usiamu selalu percaya dongeng tentang malaikat pelindung, mengapa kau tidak?” Pria tua itu kemudian bertanya.

“Aku bahkan tidak percaya Tuhan.”

“Oh, ya?” Pria tua itu terkesiap, “Bagaimana bisa? Umurmu berapa, Bocah?”

“Kupikir dunia hanya dikuasai oleh kepala manusia yang isinya berbeda-beda. Aku hanya percaya hal baik akan selamanya baik. Aku hanya butuh berkarma baik.”

“Maksudmu? Kau tidak percaya Tuhan tapi kau percaya agama?”

Bocah itu menggeleng, “Aku tidak percaya kedua-duanya. Aku sudah enam belas tahun untuk bebas memiliki kepercayaanku sendiri.”

Pria tua itu memperhatikan penampilan bocah itu dengan saksama. Tubuhnya masih terlampau kecil untuk mengaku-ngaku sebagai bocah usia enam belas—tubuhnya seperti bocah laki-laki lain yang baru berusia sembilan tahun.

“Jadi kau hanya percaya kepada dirimu sendiri—tidak pada dogma agama, tidak kepada malaikat pelindung, bahkan tidak kepada Tuhan... lalu apa yang kau percayai?”

“Aku belum bisa mempercayai sesuatu, tapi aku percaya, kelak aku akan mati.”

Pria tua itu tertawa, “Jadi di usia enam belasmu, kamu masih belum tahu hal apa yang harus kamu percayai? Tidak memiliki sosok idola, huh?”

“Aku punya,” ujar si bocah, “tapi tidak untuk memercayainya, tidak untuk menuhankannya.”

“Ah, baiklah. Coba kau lihat sketsaku ini.” Pria tua itu menyodorkan buku sketsanya. “Lihat dengan saksama. Termasuk judul-judulnya dan catatan-catatan kecil yang kutulis di bawahnya...”

“Kau lihat tahun aku menggambar sketsa gadis itu, Bocah?”

Bocah itu seolah baru memperhatikan tentang waktu dan seketika itu ia seolah baru menyadari bahwa yang terpenting dari sketsa itu, adalah kapan sketsa itu dibuat, “2032!”

“Sekarang tahun berapa, Bocah?”

“2007.”

“Coba lihat tahun berapa aku memulai lembar sketsaku ...”

“2010.”

Pria tua itu tersenyum, “Aku tidak berbohong tentang waktu. Waktu sangat berharga bagiku. Bahkan tiap menitnya aku berbicara denganmu sekarang.

“Akulah yang dulu tidak percaya kepada Tuhan, aku yang dulu menolak cokelat dari orang asing, sebab itu aku tahu kenapa kau bisa ada di atas pohon tanpa menoleh ke arahmu.”

“Aku tak percaya.”

Pria tua itu tertawa terbahak kemudian, “Kalau kau ada di posisiku sekarang, kau akan percaya bahwa tak ada sesuatu pun yang dapat kau ubah, bahkan jika kau mencoba kembali ke masa lalu. Karena ada tangan yang memegang kuasa.”

“Aku tak mengerti apa yang Kakek maksud.”

“Aku tahu berapa nilai raporku ketika aku berusia enam belas dan aku tahu apa mata pelajaran favoritku. Kau tidak mungkin tidak mengerti.” Pria tua itu mendikte, “Dan oh Tuhan, kata-kataku persis dengan kata-kata kakek yang dulu pernah kutemui di taman ini...”

“Jadi bagaimana caramu kembali ke masa lalu—ke masa ini?” Bocah itu menyahut skeptis.

“Jadi kau sekarang percaya, aku adalah dirimu pada masa tua?”

“Tidak, aku belum percaya. Aku masih butuh alasan.”

“Begini, Bocah... kau masih memegang sketsaku. Coba kau perhatikan apa yang terjadi sehingga aku memutuskan untuk menemuimu sekarang. Sketsa itu kubuat dalam waktu-waktu yang berbeda. Semenjak aku mulai jatuh cinta.”

“Kau jatuh cinta kepada seorang gadis yang selalu duduk di taman ini setiap hari di kala senja?” tebak bocah itu.

Pria tua itu menggeleng, “Cobalah perhatikan lagi,” ujarnya sedikit kecewa.

“Tapi semua sketsamu hanya tentang senja, seorang gadis, dan seekor anjing...”

“Tapi lihatlah pencahayaannya, lihatlah gradasi yang kuberikan.”

“Gadis ini tak pernah ada?”

Pria tua itu mengangguk, tersenyum senang. Seolah ada yang mengerti perasaannya, “Tak pernah ada seseorang yang hadir di hidupku.”

“Bahkan gadis ini hanya khayalanmu?”

“Itu sebabnya aku menemuimu sekarang.”

“Maksudmu aku akan melajang sampai aku seusiamu?”

“Itu hal yang tidak kuharapkan terulang lagi.”

“Lalu kau sekarang akan memintaku untuk jatuh cinta kepada seseorang agar hal yang sama tidak akan kembali terjadi pada masa depan?”

“Dan kupikir rencanaku akan gagal.”

“Karena responku sama seperti responmu saat seorang kakek lain menghampirimu pada masa mudamu dan memohonkan ini kepadamu?”

“Bahkan Kakek tua itu juga mengatakan hal yang sama persis dengan apa yang kukatakan sekarang. Ini yang dia katakan. Dan waktu itu dia juga mengulang kalimat, ‘ini yang dia katakan.’ Dan dia mengulang ini juga. Tidak ada yang berbeda.”

“Jadi untuk apa kau datang sekarang?”

“Kupikir, Bocah... aku bisa mengubah takdir kita.”

“Aku berjanji kepadamu aku akan jatuh cinta dan menikah dengan seseorang. Ini pasti tidak kau ucapkan waktu itu.”

“Kau salah, Bocah...” Pria itu tertunduk resah, “Aku mengucapkannya.”

Mereka terdiam sekian lama. Kehilangan kata-kata: karena bagi si pria tua, segalanya telah sia-sia. Pun bagi si bocah: ia entah mengapa makin percaya bahwa takdirnya akan melajang sampai tua. Tanpa mereka sadari, mereka hilang kendali atas pikiran mereka sendiri.

“Mau menemaniku mengambil jalan setapak di sini?” ujar pria tua kemudian, “Aku hampir lupa tempat-tempat. Aku hanya tiba-tiba sampai ke sini.”

“Dari mana kau datang, Kakek?” Bocah baru menyadarinya.

“Aku hanya tiba-tiba ada di taman ini.”

“Kau tidak menciptakan mesin waktu untuk kembali ke masa ini?”

“Rupanya kau sudah mempercayaiku?”

“Untuk percaya dan untuk tidak percaya sama-sama tidak ada untungnya buatku.”

“Aku percaya kau melihat dirimu di dalam diriku,” ujar si pria tua lirih. “Baiklah, mari tuntun aku berkeliling. Aku masih ingin bercerita banyak sebelum aku harus pergi,” lanjutnya seraya mengambil tongkat kayunya yang sedari tadi disandarkannya di pojok kursi.

“Aku ingin bertemu dengan ibuku. Aku rindu masakannya.”
 
Bocah itu melotot ketika mendengar lanjutan kata-kata si pria tua.

“Aku harap ayahku masih gemar menantang tamu asing bermain catur bersama.”

“Kakek, apa kau sedang menipuku?” Setelah mengatakan itu si bocah terdiam di tempatnya. Mereka saling pandang kemudian.

“Bagaimana kau bisa berpikir begitu?”

“Aku yatim piatu. Aku dibesarkan di panti asuhan sejak bayi. Aku bahkan tak pernah mencicipi masakan yang lebih enak dari sup ayam brokoli yang dibuatkan teman sepantiku untukku. Aku tak tahu ayahku bisa bermain catur atau tidak.”

“Jadi apa—aku salah orang?” Pria tua itu berkata kemudian.
 
Bocah sudah terlanjur merasa ditipu mentah-mentah, menyesal sudah terlampau jujur dan percaya kepada seseorang. Seumur hidupnya baru kali itu ia segan memercayai orang asing—selain dirinya sendiri.

Sejak kecil ia selalu mengharapkan ada sosok lain yang mengisi hidupnya dan beradu peran dengannya. Apakah salah jika ia mengharapkannya dari pria tua itu—yang tiba-tiba hadir pada senja hari? Ia bahkan tidak memercayai Tuhan, tapi ia percaya kepada pria tua itu. Apa ia salah?

“Jadi takdirku bisa diubah!” Pria tua itu berteriak kegirangan, “Aku akan menemukan bocah ku yang sesungguhnya dan aku akan memintanya agar menikah dengan gadis impiannya!”
 
Bocah itu tertunduk diam.

“Ada apa, Bocah?”

“Jika kau pun bisa mengubah masa lalumu, aku juga sungguh ingin mengubah masa laluku.”

Pria tua memegangi bahu bocah sementara tangan kanannya disangga oleh tongkat kayunya.

“Aku tadi sempat bahagia untuk percaya, kau adalah diriku pada masa depan. Kupikir aku memiliki masa depan, karena aku berdasi dan menggunakan jas dan membawa koper. Aku pikir aku memiliki uang yang berlimpah karena aku bisa memberi sebungkus cokelat mahal kepada seorang bocah. Aku pikir tentu aku akan keluar dari panti dan menjadi pria tua yang mapan karena bersetelan mewah bahkan ketika rambutnya sudah dipenuhi uban.”

Pria tua itu tertegun sejenak, “Apa kau benar ingin mengubah masa lalumu, Bocah?”

“Setidaknya aku ingin memiliki masa depan yang menjanjikan.”

“Berdoalah. Aku pun demikian. Aku tiap hari berdoa, agar Tuhan mengubah takdirku. Aku ingin memiliki pujaan hati, aku ingin menikah dengan gadis yang kucintai, meski di usia senjaku. Aku berdoa tiap hari, tiap malam. Sampai aku memiliki kesempatan untuk kembali ke masa laluku.”

“Bagaimana caranya? Doa seperti apa? Aku berdoa hampir tiap hari di kuil, meski orang-orang bilang aku berlebihan. Kata mereka cukuplah aku berdoa pada hari Minggu, tapi aku melakukannya.”

“Bukankah kau tak percaya Tuhan—tak percaya agama?”

“Itu hanya kata-kataku.”

“Jadi sejak tadi kau yang sedang menipuku?”

“Aku hanya tidak menyangka saat kau bilang kata-kataku tadi sama seperti kata-katamu ketika dulu kau didatangi kakek-kakek itu. Aku merasa kebohonganku adalah suatu kebetulan.”

“Jadi kata-katamu tadi berfungsi sama seperti kata-kataku dulu...” Pria tua itu merenung sejenak, “Lalu mengapa aku tidak bisa menyangkamu sebagai diriku pada masa lalu?”

“Karena aku yatim piatu. Kau memiliki ayah dan ibu.”

“Tapi aku, entah kenapa, tetap sungguh percaya bahwa kau adalah diriku pada masa lalu, Bocah. Ada sesuatu di matamu yang sama dengan yang kumiliki di mataku.” Pria tua itu mengusap alis si bocah. “Sekarang aku yang bodoh untuk sedikit kurang percaya. Dan kita mungkin sama-sama cerdik untuk sangsi bahwa kita adalah orang yang sama dalam waktu yang berbeda.

Sudahlah, yang jelas kita tidak sama-sama menipu. Waktuku sebentar lagi. Temanilah aku berjalan-jalan setapak, Bocah.”

“Lalu kau ingin ke mana—kalau tidak pulang ke rumah menemui ibumu dan ayahmu?”

Pria tua itu tersenyum, ada haru di kedipan matanya, “Ajaklah aku ke panti.”


DI SEPANJANG perjalanan, mereka tak berkata-kata lagi. Ada suara nyit-nyit dari setiap sudut rerumputan. Bulan sudah benderang di atas mereka, langit berantakan akan bintang kecil-kecil yang berkedip-kedipan. Dengan tongkat kayu yang diperlukan salah seorang dari mereka, perjalanan menjadi sungguh lambat sekali.

“Aku sedang memikirkan sesuatu, Bocah.”

Bocah itu menoleh.

“Mungkinkah, ada banyak kemungkinan kejadian. Dengan orang berkarakteristik sama?”

Bocah memperhatikan, berdiri diam dengan tiba-tiba.

“Kau mengerti apa maksudku, kan?” Pria tua itu memastikan.

Bocah menggeleng.

“Kau tiba-tiba terdiam?”

Bocah itu kemudian kembali berjalan.

“Maaf, aku baru ingat usia kita terlampau jauh berbeda.”

“Tidak ada yang salah. Suatu saat mungkin aku akan mengerti.”

“Kupikir, jika kau memang adalah aku pada masa lalu... Kita bisa menganggap, kau adalah A. Dan aku sebagai masa depanmu, adalah B. Jika kau ingin menemui dirimu pada masa depanmu, mungkin saja kau tidak hanya akan menemui B, mungkin saja kau akan menemui C, D, E, dan setriliyun kemungkinan lain, yang aku juga tak tahu pasti.” Pria tua itu tersenyum ketika mendapati bocah menganggukkan kepalanya

“Aku cukup menangkap maksudmu.”

“Jadi begini, seperti aku sekarang, aku kembali ke masa laluku untuk mencari diriku yang bukan yatim piatu, anggaplah aku mencari masa laluku si A. Namun yang kutemukan bukan si A, melainkan si B, yang adalah kamu, yang tidak memiliki ibu dan ayah. Mungkin bahkan aku bisa menemukan C atau D, tapi aku tidak menemukannya karena, entah mungkin, dimensi yang berbeda.”

Mata pria tua itu berbinar cerah.

“Bisa jadi begitu.” Namun bocah itu seolah tak ingin lagi memperpanjangnya, “Di depan sana, yang lampunya sedikit redup keoranyean, itu pantiku.”

“Kami hidup bersama. Aku yang paling tua. Tidak ada yang mau mengadopsiku. Mungkin mereka melihatku sebagai anak yang membosankan. Pemurung dan tak banyak bicara.”

“Bukan karena itu. Kau memang pemurung—tapi mungkin saja, kau tetap di sini, karena kau harus bertemu dengan dirimu pada masa depanmu. Kau harus bertemu denganku, Bocah.”

“Untuk apa?”

 “Bukankah sesuai misi awalku—untuk menemukan gadis impian yang harus kau lindungi.”

“Keinginanku tidak sama denganmu, Kek. Aku hanya ingin hidup bahagia, keluar dari panti. Aku merasa—aku sudah sangat merepotkan di sini. Aku ingin bekerja seperti anak-anak panti lainnya. Seandainya aku terlahir sebagai perempuan, mungkin aku akan melacurkan diri, mungkin akan ada yang mengadopsiku.”
 
Pria tua itu tersenyum, “Seandainya aku dulu lahir sebagai seorang gadis, aku pastilah gadis yang pendiam dan tidak disukai laki-laki. Aku akan sama seperti diriku sekarang. Ada yang kupelajari dari pertemuanku denganmu.”

“Apa itu, Kakek?”

“Bahwa ada titik-titik yang sudah pasti. Hanya saja ada cabang-cabang berbeda untuk mencapai titik-titik itu.”

“Apa kau dulu berjalan-jalan seperti ini juga dengan kakek yang hadir pada masa lalumu?”

Pria tua itu menggeleng, “Tidak, aku tidak mengajaknya ke panti. Aku mengajaknya pulang ke rumahku dan kami makan malam bersama keluargaku. Ibuku senang sekali menerima tamu yang begitu bersahaja dan memasakkan ayam panggang yang lezat untuk kami santap malam itu. Kemudian, ayahku mengajak kakek itu bermain catur di teras sementara aku dan ibu memperhatikan bintang. Kemudian kakek itu pamit pulang dan aku tertidur pulas malam itu.

Tapi aku akan melakukan sesuatu yang berbeda denganmu. Mungkin aku akan mengajakmu ikut denganku, berjalan-jalan sebentar ke masa depan?”

“Tapi, dengan perbedaan itu, apakah berarti aku memang bukan dirimu pada masa lalu?”

Pria tua menggeleng, “Tidakkah kau mengerti?”

“Ah, kita sudah sampai. Siapa gadis kecil itu? Kelihatan manis sekali. Aku menyukainya.” Pria tua itu mengalihkan pembicaraan, “Kupikir dialah gadis itu.”

Bocah tersenyum canggung.

“Kakak dari mana saja? Ibu panti sudah mencari-cari Kakak sejak tadi.” Gadis kecil itu mendekati mereka berdua, menggenggam tangan si bocah, “Ibu takut Kakak bunuh diri di hutan.”

Memang ada banyak kejadian bunuh diri di hutan dekat danau. Orang-orang bilang, penunggu hutan itu terlalu banyak yang kesepian. Bahkan banyak orang yang menghilang tanpa bekas. Beberapa orang yang beruntung, mendapati keluarga mereka dengan potongan tubuh yang tak lengkap.

Tapi bocah itu sudah terlanjur jatuh cinta dengan danau itu. Tidak ada perasaan takut sedikit pun untuk mengetahui mitos-mitos itu. Dan selama ini, taman di danau itulah satu-satunya tempat untuknya bersembunyi dari kesedihan-kesedihannya.

“Kau lihat garis tanganku.” Bocah itu berkata, “Kau suka meramal garis tangan, kan? Katamu umurku panjang?

Kau hebat dalam masalah ini. Aku merasa terlindungi tiap kali kau bilang aku akan berumur panjang meski aku harus selalu berhati-hati,” ujar si bocah seraya membelai rambut si gadis kecil dengan sayang.

Gadis kecil itu memang memiliki kekuatan yang jarang dimiliki oleh orang lain.
 
Dulu sewaktu bayi, gadis itu ditemukan di depan panti di dalam keranjang, basah kuyup diguyur hujan semalaman, penghuni panti yang menemukannya berteriak histeris.

Tubuh itu bersinar biru terang dan di dahinya terdapat permata biru laut yang berpendar. Bayi itu dilindungi oleh kekuatan air, kata ibu panti malam itu mencoba menenangkan mereka, mungkin saja bayi itu dititipkan oleh penghuni danau. Dan mereka harus menjaganya supaya tidak mendapat hukuman dari dewa air.

Dan di sanalah bayi kecil itu kemudian dibesarkan, banyak kejadian aneh sepanjang waktu mereka tinggal bersama. Suatu waktu, si bocah menemukan tubuh gadis kecil itu melayang-layang di langit di luar panti—sampai kemudian kembali ke atas ranjang, dan gadis itu terbangun tanpa menyadari bahwa hal aneh semacam itu telah terjadi.

Gadis kecil itu bahkan terkadang bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata. Terkadang pada malam bulan purnama, gadis itu mengaku penglihatannya berubah menjadi sedikit aneh. Dia tidak melihat orang-orang di sekelilingnya, dia hanya melihat benda-benda kecil berwarna-warni berpendar-pendar. Bahkan ketika ada seseorang berbicara kepadanya di sekitarnya, gadis itu semakin histeris mengatakan bahwa suara yang keluar dari mereka berwarna, suara para penghuni panti kala itu berbentuk bulat kecil-kecil berwarna-warni dan bertumbuk-tumbukan.

Gadis itu juga bisa menemukan benda yang hilang. Bahkan terkadang, gadis itu bisa tiba-tiba menghilang dan muncul kembali. Pada saat itu terjadi, ketakutan si bocah makin menjadi-jadi, jika suatu saat gadis itu hilang dan tak pernah muncul lagi. Gadis kecil itu telah menjelma segalanya di dalam kesehariannya.

Tiba-tiba pelukan bersarang di tubuh bocah, “Ayolah masuk, Kak. Oh, ya... siapa yang kau ajak malam ini?”

Pria tua mengulurkan tangan hendak menyalami si gadis kecil. Gadis kecil menyambut uluran tangannya.

“Anggap saja aku kakekmu. Berapa usiamu, gadis kecil?”

Namun si gadis kecil tidak menjawab. Tangannya seolah membeku di tangan si pria tua dan matanya terpaku menatap ke arah pria itu, “Kak, bagaimana bisa kau ajak setan penghuni danau pulang ke panti kita?” [*]

# Kisah yang jadinya tidak terduga setelah membaca sekelumit kisah tentang Aokigahara.

3 comments:

  1. hahahaha....anak sastra nih sekarang

    ReplyDelete
  2. Aku rasa, ceritanya terlalu berat jika tokoh utamanya seorang anak kecil.

    Bisakah Dinda merubahnya menjadi seorang gadis remaja?^^

    ReplyDelete

Tulisan Terdahulu