2009/02/07

Religia

(Seorang Wanita di Kursi Roda)

DULU hujan selalu membuatku berjarak dengannya. Karena aku tak bisa melihat secara jelas sosoknya yang kabur di balik jendela berembun. Bertahun-tahun hujan selalu akan membuatku berjarak dengannya. Mengamatinya merentangkan tangan di kejauhan, sementara aku menggenggam gelas gin berisi soda susu. Aku sering berkata kepadanya, bahwa aku tak punya siapa-siapa dalam hidupku. Tanpa kusadari, bahwa aku selalu memilikinya untuk mendengarkanku bercerita. Andai ia tahu, ia membuatku sering merasa kosong. Seperti yang acap ia dengar, bahwa aku benci keterikatan. Keadaan terikat yang tak impas membuat ruang menjadi terlihat terlalu luas dan jarak merentang semakin jauh. Karena ia selalu membuatku berpikir; bagaimana seandainya jika aku kehilangannya atau ia kehilanganku?


(Pria yang Mendorong Kursi Roda)

SORE itu hujan, aku mendorong kursi rodanya, entah menuju ke mana. Dia bersikeras memintaku meninggalkannya sendiri di kamar yang pengap oleh bau obat atau membiarkan suster jaga mengajaknya jalan-jalan berkeliling. Kubilang aku tak cukup nyali untuk harus kehilangannya tanpa sepengetahuanku.

“Aku ingin makan bubur,” ujarnya. Sementara dia membiarkan senampan makanan dari rumah sakit di meja di sebelah ranjang tak tersentuh.

Sepanjang perjalanan menuju kafetaria, kami melihat banyak burung gereja di langit. “Besok aku akan menjadi salah satunya.” Begitulah dia selalu percaya orang-orang mati akan bermanifestasi terlebih dulu menjadi hewan sebelum terlahir kembali.

“Aku ingat kata-kata ayahku, tentang bagaimana dia sampai harus kehilangan ibuku hanya untuk melahirkanku.”

Entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas di pikiranku, semua kenangan tentang kebersamaan kami berputar di dalam orbitalnya, tereksitasi satu per satu di dalam tempurung kepalaku, semakin kehilangan energi tiap kali kusadari aku akan kehilangannya sebentar lagi.

“Mungkin sebelum mati, malaikat surga bertanya kepadanya. Antara dia memilih untuk terus hidup dan membiarkanku mati, atau dia mati untuk membiarkanku terus hidup.”

Mendorong kursi rodanya saat dia sedang merasa kehilangan semangat hidup, membuatku kehilangan daya gerakku sama sekali.

“Dan nyatanya ibuku memilih mati.”

Beratnya sudah turun sebanyak dua puluh kilogram selama setahun dia menjalani kemoterapi. Usianya baru dua puluh satu tahun, dan dia menderita kanker otak. Tumor di otak tidak membuatnya kehilangan daya pikir atau menurunkan kecerdasannya. Bahkan setiap hari semenjak dia dirawat inap di rumah sakit, dengan banyak jenis buku yang dia baca, aku selalu berfirasat seolah suatu saat dia akan mengalahkanku dalam banyak hal.

Sebelumnya dia selalu kalah pada diskusi tentang apa pun yang kusukai, dan aku selalu seimbang tiap kali diajaknya berdebat tentang hal-hal yang dia sukai. Kami membicarakan tentang kecerdasan artifisial, kemungkinan penyebab kiamat, kadang aku membicarakan tentang ilmuwan Matematika, dan dia membahas mengenai kesamaan mereka dengan tokoh-tokoh Psikologi. Mengingat momen-momen itu, aku tahu dia tidak akan tergantikan.

“Ibumu memberimu hidup selama dua puluh tahun,” kataku, “yang mungkin dia tidak yakin apakah dia akan membutuhkan seperempat dari waktunya itu untuk terus menantikan seorang putri sepertimu.”

Ibunya melahirkannya di usia empat puluh tahun, dan sebagaimana umumnya wanita pra-menopause, mereka akan kehilangan kesuburan menjelang usia empat puluh lima. Aku yakin, saat itu ibunya pasti tidak mau membuang-buang waktu untuk menunggu lagi.

“Seandainya dia tahu putrinya tidak akan berumur panjang,” dia menjawab, “apa mungkin dia mau mengorbankan nyawa?”

“Manusia tidak pernah tahu,” sejenak aku terdiam, “… tentang keajaiban apa yang akan Tuhan beri di sepanjang perjalanan hidupnya. Kupikir dia hanya mencoba mengambil risiko dan bertaruh dengan keniscayaan.”

Dia menarik napas. Sepanjang perjalanan selanjutnya kami membeku dalam diam.


“AKU pernah membayangkan tentang masa depan, di mana kita bisa kembali ke masa lalu dengan mesin waktu ...” ucapnya. “Aku ingin kembali ke hari kelahiranku, memperingatkan ibu bahwa aku tak perlu lahir.”

”Kau tak sendirian. Orang-orang yang tak pernah merasa memiliki masa lalunya dapat menjadi teman baikmu untuk kemustahilan semacam itu,” jawabku. Meski aku pun tak menyalahkannya untuk berpikir seperti itu.

Kami sampai di kafetaria rumah sakit. Aku memesan dua mangkuk bubur ayam hangat dan dengan sigap mengambil dua botol air minum 600 ml. Kupinggirkan kedua kursi plastik yang menghalangi kursi rodanya. Lalu kami duduk di pinggir taman, di ujung timur kafetaria.

Darah mengucur dari hidungnya. Tangannya tidak bisa dia gerakkan untuk menghapus; dia mengalami kelumpuhan kedua tangan dua minggu lalu. Kuambil tisu dari tas ransel. Bahkan sebelum dia diopname, tas ranselku selalu penuh akan segala sesuatu kebutuhannya.

“Seandainya kita tidak pernah bertemu,” katanya begitu aku menghapus darah yang keluar dari kedua rongga hidungnya.

Darah itu terus mengucur dan tak berhenti. Kuambil daun tumbukkan di wadah plastik di dalam ranselku—obat herbal untuk menghentikan mimisan—dan kuletakkan di lubang hidungnya.

Beberapa saat, darah berhenti.

“Seandainya kita tidak saling jatuh cinta dan juga tidak menikah ...”

Aku terpaku karena kalimat terakhirnya.

“Kita bahkan belum dikaruniai keturunan,” lanjutnya. Dia bahkan tidak menangis ketika mengucapkan itu. Dia tidak pernah menangis di hadapanku, padahal dia seorang perempuan, “Aku belum sempat berkorban untuk anakku.”

Aku mengerti perasaannya. Dilahirkan oleh seorang ibu yang (dari cerita orang-orang di sekelilingnya) lebih memilih mati untuk melihat putrinya lahir, pastilah menimbulkan trauma baginya. Juga menyebabkannya memikul kewajiban untuk melakukan hal yang sama, yang bahkan tak dia ketahui diberikan oleh siapa dan semenjak kapan perasaan bersalah itu menempel padanya seumpama parasit.

“Seandainya lelaki boleh hamil ...” aku berkata.

Dia tertawa, tapi tawanya tidak bisa selincah dulu. Ketika dia menggerakkan tangan memukul bahuku setiap kali aku melempar lelucon, ketika bahkan setelah itu aku selalu menerima kecupan mesra darinya di keningku.

“Aku akan membiarkanmu mencari perempuan lain setelah aku meninggal ...” ujarnya, “Aku merasa bersalah atas semua hal buruk yang terjadi di hidupmu setelah kamu menikah denganku. Maafkan aku.”

Sungguh aku tidak dapat berkata-kata atas pemintaan maafnya. Dia adalah segala-galanya bagiku. Ketika segala-galanya itu merelakanku, aku bahkan berpikir aku tak perlu hidup.

“Aku akan adopsi seorang putri,” jawabku, “bukan seorang istri.”

Dia tersenyum, air mata mengering di wajahnya.

“Adopsilah putri yang bisa bermain catur.”

Itu kata-kata terakhirnya, sebelum akhirnya dia menutup mata, untuk selamanya.


(Gadis Kecil yang Diadopsi)


AKU melihat seorang pria gagah datang. Teman-temanku berlarian menyemutinya. Para pria berseragam hitam di belakangnya membawa puluhan parsel cantik untuk dibagikan. Kulihat teman-temanku berteriak tentang permen, coklat, dan semuanya berwarna-warni. Kulihat dari kejauhan, alangkah cantiknya parsel-parsel itu.

Aku menutup buku yang kubaca di teras dan berlari ke kamar, bersembunyi supaya tidak ditemukan. Aku tidak mau diadopsi oleh siapa pun. Tiap saat orang asing datang untuk mengadopsi anak, aku meringkuk di dalam kegelapan kamarku.

Namun hari ini berbeda. Seseorang membuka pintu kamar, menyalakan lampu. Ia menemukanku. Ia berjalan ke arahku.

“Boneka itu lucu.” pria gagah itu berkata, tersenyum. Aku tahu arti dari sinar matanya, dan betapa aku merasa tidak aman mendapati tatapan seperti itu.

“Apa kamu mau mengadopsiku?” Aku bertanya.

Ia tertawa lantas menggelengkan kepala, “Tidak jika kamu tidak mau.”

“Kenapa kamu memilih menemuiku?” tanyaku bingung.

“Karena kamu katanya adalah gadis yang paling cerdas di panti asuhan ini.”

Aku tak yakin apa ia menjawab jujur.

“Berbahaya bagiku untuk menemukan seorang putri yang akan kuadopsi di luar sana,” ia menunjuk keluar, kudengar suara tawa teman-teman seusiaku, orang-orang yang tak pernah sesuai denganku, “meski aku tahu, juga berbahaya bagiku untuk mengobrol denganmu sekarang. Kamu pasti mencurigaiku karena tiba-tiba datang menemuimu kemari. Jadi, menurutmu aku harus berada di mana?”

Aku menatapnya. Pria gagah itu cerdas. Seperti sosok ayah yang kubaca di buku-buku.

“Sejujurnya aku memilihmu karena namamu persis seperti nama yang kami pilih untuk anak kami.” Ia duduk di sisiku dan merangkul bahuku. “Aku dan mendiang istriku sudah membuat sebuah nama panggilan untuk anak kami kelak. Namanya sesuai dengan milikmu.” Ia melanjutkan, “Bonusnya, aku menemukan gadis kecil yang juga cerdas.”

“Kenapa istrimu meninggal?” tanyaku.

Ia tersenyum, “Aku tidak pernah membayangkan akan mengobrol seperti ini dengan anak berusia sembilan tahun.”

Aku menatap kesal ke arahnya. Aku tahu sejak tadi ia berusaha merayuku untuk bisa ia adopsi, “Aku bukan gadis sembilan tahun jika kamu melihat buku-buku yang kubaca.”

“Oh, ya?”

Senyumnya makin kentara.

“Buku-buku apa yang kamu baca?”

Kutunjukkan satu buku yang kutaruh di balik bantal.

“Di usia semuda ini, kamu sudah memiliki selera.” Ia menjawab sopan.

“Tidak juga. Barangkali perkataan itu lebih tepat ditujukan kepada orang-orang yang menyumbang buku ke panti ini.”

“Jadi kenapa istrimu meninggal?” tanyaku.

“Karena dia brilian,” jawabnya. Aku tidak mengerti, tapi dia melanjutkan, “Terlalu banyak berpikir. Tumor otak stadium lanjut. Omong-omong, pertanyaanmu tentang istriku tadi, bagiku terdengar kurang sopan,” ujarnya, “Bagaimana jika, bila karena itu, aku memberimu penawaran?”

Aku menatapnya lekat-lekat, “Apa?”

“Aku ingin mendidikmu sebagai anakku.” Akhirnya ia menyampaikan maksud.

“Alasannya?” tanyaku.

“Istriku yang memintanya. Aku yakin dia sedang duduk di sebelahmu sekarang.” Ia lalu tersenyum dan membelai rambutku.


(Pria yang Mengadopsi Seorang Putri)

AKU yakin dengan pertanda-pertanda yang dia berikan. Dengan simbol-simbol dalam mimpiku. Gadis kecil ini secerdas dia ketika berusia sembilan tahun. Kini dia duduk di sisiku, membaca buku berbahasa Prancis. Katanya buku itu diberikan oleh salah seorang donatur panti. Kata para suster penjaga panti asuhan, mereka bahkan tidak pernah mengajarinya membaca.

Kubiarkan aku kagum oleh kecerdasannya. Seperti kubiarkan dia tidak pernah tahu alasan sesungguhnya aku mengadopsinya.

Mobil kami melaju cepat.

Kuharap aku bisa membesarkan dia seperti putri kandungku sendiri. [*]


Sabtu, 07 Februari 2009

08:02:26 - 10:23:19

3 comments:

  1. ¡¡ƃuɐısƃuɐuɐɹɐq ıɹɐp ɐɹʇsɐs ɯɐlɐs ˙˙ɐʇıʞ ɹǝqʎɔ ɐɹʇsɐs uɐʞnɾɐɯ oʎɐ ˙˙ɐʎ lɐuǝʞ ɯɐlɐs ˙˙uɐʍɐʞ `ƃuɐıs uɐƃunɾunʞ

    ReplyDelete
  2. di antara derai hujan kubaca tulisanmu.
    di antara derai air mata kurasakan sentuhan manis menguar dari bait demi bait ceritamu.

    ReplyDelete

Tulisan Terdahulu