Refleksi dalam Tiga Langkah
Dalam mengurai alasan berlangsung setengah-setengahnya nilai-nilai HAM di
Indonesia, langkah pertama yang ditempuh adalah dengan meninjau pengertian
tentang konsep kemanusiaan yang melekat pada diri subjek, dijelaskan dalam
artikel ini bahwa terdapat dua jenis konsep kemanusiaan yakni konsep komunitarian
dan liberal, langkah kedua adalah dengan mendiskusikan integrasi antara
pengertian tentang kemanusiaan dengan komunitas dan status kewarganegaraan
individu tersebut di tengah masyarakat, dan langkah terakhir adalah dengan
menguraikan kendala-kendala terwujudnya HAM di Indonesia.
Definisi Kemanusiaan
Penentuan siapa subjek hak-hak asasi manusia dan bagaimana nilai
kemanusiaan ditempatkan dan dihadapkan terhadap subjek-subjek itu memperjelas
sejauh apa HAM dapat dijalankan. Pada umumnya, subjek dikehendaki berwujud
konkret, kita mesti mengetahui siapa orang itu di dalam konteks bermasyarakat:
apakah dia adalah seorang anggota partai, pemegang profesi tertentu, atau ia
berada dalam kerangka produsen-konsumen dalam rantai produksi. Pada
kenyataannya, nilai-nilai HAM cenderung mengandaikan definisi kemanusiaan dalam
makna abstrak. Jika mengandaikan individu memiliki hak ini atau hak itu, maka
diperlukan juga cara memandang tertentu tentang apa itu manusia dan apa itu
kemanusiaan dalam kerangka abstrak, melampaui wujud konkretnya.
Dalam kerangka abstrak tersebut, pernyataan bahwa manusia memiliki hak
mengandaikan sekurangnya dua hal. Pertama,
dalam kerangka konsep liberal, di mana manusia itu dipandang sebagai manusia
belaka dan keberadaan manusia mendahului negara. Liberalisme berpangkal dari
pengalaman kekuasaan absolut dalam pemerintahan monarki dan penderitaan yang
diakibatkan oleh perang agama di Eropa abad ke-17 dan ke-18. Untuk melawan
kekuasaan tirani itu, hak-hak asasi dalam konsep liberal ini hadir sebagai
suatu kekuatan perlawanan terhadap negara tiran tersebut. Dari sini, konsep
liberalisme menciptakan suatu demarkasi tegas antara hak-hak asasi manusia dan
kedaulatan rakyat. Hak asasi manusia tersebut bersifat pra-politis atau
mendahului negara. Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa menyebut identitas
manusia sebagai manusia belaka bagaimanapun adalah hal yang absurd, karena
manusia hadir dalam suatu kondisi dan ruang sosial tertentu yang menyebabkannya
memanggul suatu identitas: ras, suku, agama, bahkan nama keluarga. Individu
memiliki hak pra-positif dalam situasi pra-negara, sebagaimana dikembangkan
oleh para teoretikus kontrak seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques
Rousseau dalam ilustrasi mereka tentang state
of nature. Menurut Rousseau, ilustrasi tersebut bersifat fiktif dan
berfungsi membenarkan hak-hak manusia yang mereka peroleh secara inheren,
seperti hak untuk hidup, hak kebebasan, dan hak milik.
Hak-hak tersebut disebut sebagai hak-hak asasi negatif karena tidak
dikatakan apa yang boleh, melainkan apa yang tidak boleh dilakukan: yaitu
kehidupan individu tersebut tidak dapat dicampuri oleh pihak-pihak luar. Dasar
etisnya adalah tuntutan agar otonomi setiap orang atas dirinya sendiri
dihormati. Hak-hak ini penting bagi keutuhan seorang manusia. Dari segi
jasmani, manusia hanya dapat memiliki diri, apabila tubuhnya sendiri, serta
sarana-sarana kelangsungan kehidupannya, lingkungannya, dan perwujudan kehidupan
pribadinya memiliki otonomi dan kebal dari pihak luar.[1]
Namun demikian, kritik terhadap konsep ini hadir misalnya dari Hannah
Arendt ketika ia mengatakan bahwa konsep liberal mengandung paradoks. Manusia
yang memiliki ciri “manusia belaka” atau “hanya sebagai manusia” akan sangat
sulit untuk diperlakukan sebagai “sesama manusia”. Tanpa situasi atau ruang
sosial, manusia juga tidak dapat memiliki hak. Kendati hak-hak asasi manusia
bersifa inheren dalam diri manusia, barulah ketika ia terjun di tengah
masyarakat hak-hak tersebut dapat dihargai. Mengandaikan ia terlepas dari
identitas tersebut dan menjadi secara murni “manusia belaka” hampir-hampir
mustahil, oleh karena itu perlu juga ada pertimbangan yang berimbang dengan
konsep kedua, di mana manusia memiliki peran dalam kehidupan sosial.
Kedua, dalam kerangka konsep komunitarian, manusia perlu dipandang lebih dari
sekadar manusia karena bersamanya ia membawa identitas-identitas tertentu yang
diperolehnya karena statusnya sebagai makhluk sosial. Konsep komunitarian ini
secara politis bersifat republikan karena hanya dengan menjadi warga negara,
seseorang dapat dikatakan memiliki hak. Arendt menegaskan kritiknya dalam dua
aspek, pertama adalah bahwa hak-hak
asasi manusia perlu diinstitusionalisasikan dalam negara yang tertuang secara
konkret sebagai hak-hak warganegara, kedua
adalah bahwa konsep komunitarian memiliki wujud lebih riil dan vital daripada
gambaran kemanusiaan universal yang diandaikan melalui konsep hak-hak asasi
manusia.
Perlu pula dilihat bagaimana dimensi-dimensi kesosialan dalam diri
individu mempengaruhi interaksinya dengan masyarakat. “Kesosialan manusia” ini
ternyatakan dalam tiga dimensi, yakni 1) dalam penghayatan spontan individual,
2) berhadapan dengan lembaga-lembaga, dan 3) melalui pengertian-pengertian
simbolis terhadap realitas. Berdasarkan pembagian Hegel, organisasi kesosialan
manusia dapat dibagi dalam tiga lingkaran: ke dalam lingkaran keluarga, ke
dalam lingkaran masyarakat luas, dan di dalam negara. Keluarga adalah satuan
kesosialan manusia yang akrab. Persatuannya berdasarkan minat spontan yang
ditunjang oleh perangkat instingtual yang kuat. Sementara masyarakat luas
merupakan terjemahan Jerman dari burgerliche
Gesellschaft, yakni apa yang dalam bahasa Indonesia cenderung
disederhanakan sekadar sebagai “masyarakat”. Sementara itu, lingkaran ketiga
yakni negara adalah apa yang dikatakan oleh Peter L. Berger sebagai “symbolic universe of meaning”, hadirnya
suatu paham, kepercayaan, pandangan tntang makna realitas sebagai suatu
keseluruhan. Dalam kerangka kesosialan yang dibahas sebelumnya, dimensi politis
mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara dan sistem-sistem nilai dan ideologi-ideologi
yang memberikan legitimasi kepadanya. Hukum adalah lembaga pranata normatif masyarakat,
sementara negara adalah pihak yang dapat secara efektif menentukan kelakuan
masyarakat dan memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya. Dengan
demikian, hukum dan negara saling berkaitan dalam menghadapi bagaimana hak-hak
asasi manusia diterapkan di tengah masyarakat. Hukum tanpa negara dapat
dikatakan tidak dapat berbuat apa-apa, sementara negara tanpa hukum cenderung
tanpa arahan dan kehilangan suatu tatanan normatifnya. Sinergi antara kedua hal
ini diperlukan sebagai prasyarat ketika individu dihadapkan pada dimensi
kesosialan berupa lembaga yang berwenang dalam mendorong berjalannya
nilai-nilai hak asasi manusia.[2]
Dua Konsep tentang Kemanusiaan
dalam Konteks Kewarganegaraan
Lantaran konsep kemanusiaan mengejawantah secara politis dalam kewarganegaraan,
langkah kedua dalam tiga tahapan refleksi ini ditujukan untuk melihat tegangan
yang terjadi di antara dua konsep kemanusiaan yang telah dielaborasi dalam
paragraf sebelumnya. Konsep liberal melihat manusia sebagai melampaui
kelompoknya, sementara konsep komunitrian melihat manusia terkait dengan
kelompoknya. Di tengah silang sengkarut perdebatan, umum dipahami bahwa
definisi manusia dalam konsep liberal dan konsep komunitarian cenderung tidak
dapat dipertemukan atau justru bertolak belakang. Padahal, menurut F. Budi
Hardiman dalam artikelnya, pada dasarnya tidak ada pertentangan di antara kedua
konsep itu jika dipandang sebagai suatu dinamika epistemis dalam konsep hak-hak
asasi manusia.
Penjaminan atas otonomi hak asasi manusia ini sendiri adalah sinergi dari
kedua konsep manusia yang berkembang dalam hak-hak yang dirumuskan sejak abad
ke-17 dan mendapat rumusan klasik daftar hak-hak manusia dan warga negara yang
disahkan oleh parlemen Prancis 1789 sebagai salah satu buah pertama Revolusi Prancis
(les droit de l’homme et du citoyen).
Dalam generasi pertama pengelompokan hak asasi manusia ini, termuat tiga
kelompik hak-hak asasi manusia, yakni 1) kebebasan-kebebasan dasar, seperti
misalnya kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang, kebebasan beragama,
kebebasan untuk bergerak, kebebasan untuk mencari informasi, 2) hak-hak dasar
demokratis, seperti hak untuk berkumpul dan berserikat, untuk menyatakan
pendapatnya secara lisan dan tertulis, hak untuk ikut aktif dan pasif dalam
pemilihan umum, 3) hak atas perlindungan negara, misalnya terhadap serangan
criminal, ha katas proses pengadilan adil, termasuk hak untuk mendapat pembela.
Latar belakang filosofis tiga macam hak itu adalah liberalisme, dengan tokoh-tokoh John Locke dan Monstesquieu, dan republikanisme dengan tokoh Jean-Jacque
Rousseau.[3]
Untuk itu, perlu dibedakan adanya dua hal, yaitu motivasi dan intuisi
dalam praktik hak-hak asasi manusia. Motivasi
memampukan seseorang untuk memiliki dorongan batiniah dalam memperlakukan
seseorang sebagai sesama manusia. Richard Rorty menyebutnya sebagai
‘sentimentalitas’, kemampuan untuk berempati terhadap seseorang karena ia
berada dalam situasi atau identitas kolektif yang sama. Identitas komunitarian
adalah suatu motivasi yang mendorong terlaksananya konsep-konsep liberal dalam penerapan
nilai hak asasi manusia. Intuisi rasional,
sebagai pendukung, adalah apa yang memampukan seseorang untuk memandang dirinya
sebagai sama dengan yang lainnya sebagai manusia dengan kenyataan yang rapuh
dan mudah terluka, bahwa ia adalah inidvidu yang sama fananya, takut akan
kematian, dan itu yang menyebabkan ia memiliki kesamaan nasib dengan manusia
lainnya. Konsep dasar ini yang tidak dapat direlatifkan dalam konsep
komunitarian. Kesamaan condition humana ini
membuat seorang individu dapat menghormati setiap orang, bukan semata-mata
sebagai bagian kemanusiaan universal, melainkan juga sebagai anggota kelompok.
Dengan adanya sokongan dari motivasi
dan intuisi rasional ini, berbagai
konsep komunitarian tentang manusia tidak akan saling berbenturan dan justru
dipandang dapat sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia yang diangkat oleh
konsep liberal.
Untuk memastikan kedua aspek tersebut dapat berjalan, diperlukan adanya
deliberasi publik, yakni suatu jalan atau dukungan untuk menghadirkan
narasi-narasi sesungguhnya yang dapat meningkatkan motivasi dan intuisi
rasional individu. Media dapat berperan signifikan dalam mendukung memori
kolektif di tengah masyarakat untuk meningkatkan motivasi dan intuisi rasional
yang mendukung integrasi antara konsep kemanusiaan komunitarian dan konsep
kemanusiaan liberal.
Berbagai Kendala Terwujudnya HAM
Setelah memahami dua konsep kemanusiaan yang melatarbelakangi perjuangan
nilai-nilai HAM, refleksi terakhir terkait penjabaran berbagai kendala
terwujudnya HAM. Apa yang dimaksudkan sebagai penerapan hak-hak asasi manusia
secara praktis tidak berhenti pada bagaimana hak-hak tersebut diintegrasikan
dalam hukum positif negara, tetapi juga terkait proses internalisasi
nilai-nilai hak asasi manusia tersebut di tengah masyarakat. Berikut ini
dijelaskan kendala-kendala tersebut:
- Istilah “hak” tidak bersifat sentral dalam konsep kemanusiaan komunitarian. Terlebih masyarakat Indonesia dapat dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang mementingkan asas-asas kekeluargaan dan hidup komunitarian. Dalam ungkapan lain, masyarakat Indonesia masih kurang dalam perkara pemahaman “kultur hak”. Masyarakat Indonesia cenderung mengembangkan kultur kewajiban, sementara kultur hak dianggap berangkat dari tradisi konflik. Nilai tertinggi dalam masyarakat komunitarian adalah adanya harmoni, sehingga sebagian besar anggota masyarakat cenderung berusaha untuk memenuhi kewajibannya terlebih dahulu untuk memperoleh haknya.
- Peradaban HAM mengandaikan mentalitas antroposentrisme, yakni pandangan bahwa manusia bertanggung jawab terhadap nasib dan sejarahnya sendiri. Di Indonesia, hal ini tidak berlangsung. Mentalitas masyarakat Indonesia cenderung memandang siklus-siklus kekerasan massa atau kekejaman dalam skala massal sebagai bencana kolektif atau wujud kemurkaan Tuhan. Tradisi mangan ora mangan ngumpul menunjukkan nuansa guyub dari kemasyarakatan Indonesia, tetapi justru melemahkan tanggung jawab individual yang diandaikan sebagai suatu hal yang perlu dimiliki agar ada pihak yang berani memberikan perlindungan pada penerapan hak asasi manusia dalam hubungan antara masyarakat. Tuntutan atas pertanggungjawaban kepada pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM tidak dapat dilancarkan dengan baik dalam masyarakat bermentalitas semacam ini.
- Peradaban HAM tidak tumbuh dalam ruang kosong, melainkan berkembang dalam praktik republikanisme. Sayangnya, pengalaman untuk memperoleh praktik republikan alias pengalaman dasar republik itu belum dialami di Indonesia, lantaran masyarakat Indonesia cenderung mengadopsi mentalitas sebagai bangsa jajahan akibat infantilisasi yang dilakukan oleh rezim pemerintahan otoriter di bawah Suharto dalam kurun waktu 32 tahun. Kebijakan massa mengambang melumpuhkan pengetahuan masyarakat akan politik yang bersih dari praktik kolusi. Pertarungan tidak seimbang antar kelas masih terjadi dan pelanggaran atas konstitusi negara masih berlangsung tapi cenderung mengalami pembiaran lantaran kurang kuatnya hukum dan aparatur negara yang menindaklanjuti penyelewengan-penyelewengan hukum ini. Keadaan ini membuat para pelaku kejahatan dengan mudah berlindung di balik kelompoknya. Krisis solidaritas warga yang merupakan ekses negatif dari globalisasi tidak membantu dalam mempercepat pelaporan atas terjadinya suatu tindak kejahatan. Tumpulnya praktik republikanisme ini memperlambat proses internalisasi hak-hak asasi manusia ini di tengah masyarakat.
- Perlunya jenis kepemimpinan yang tepat untuk menentukan berlangsungnya praktik republikanisme. Sementara itu, Indonesia makin hari justru kehilangan figur publik untuk membantu diterimanya nilai-nilai penting HAM di tengah masyarakat. Tindak kecurangan di dalam pemilihan umum menunjukkan bagaimana pemimpin yang dipilih secara demokratis tidak benar-benar merupakan tokoh yang dipilih secara sadar oleh warga. Mereka cenderung mendayagunakan politik uang dan permainan strategi politik tertentu untuk memenangkan suara warga. Hasilnya adalah hadirnya para pemimpin yang tidak memiliki aspirasi untuk kepentingan warganya. Beberapa pihak justru menggunakan populisme identitas tertentu, seperti populisme agama atau unsur kesukuan untuk memenangkan suara demi meraih kursi, dan justru dengan segala cara berusaha menjatuhkan pihak lawan, termasuk lewat jalan-jalan ad hominem. Para pemimpin korup ini dikategorikan sebagai “moralis politis” yakni para pemimpin yang menyalahgunakan segenap kekuasaannya demi memenuhi kepentingan pribadi atau golongannya saja. Kepemimpinan jenis ini membuka lebar pada kemungkinan terjadinya kejahatan-kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia, sampai terus tertutupnya kasus pelanggaran tersebut dari pembicaraan publik.
- Peradaban HAM berkembang dalam dukungan agama karena agama mengandung intuisi kemanusiaan yang melampaui suku-suku dan bangsa. Sebagaimana dapat dilihat dalam sejarah, di peradaban Barat, ajaran hukum kodrat bersinergi dengan tradisi Yudeo-Kristiani tentang manusia sebagai citra Allah (imago Dei) untuk menghasilkan kekristenan dan modernitas yang tegangannya menumbuhkan nilai-nilai bagi terwujudnya pemahaman atas hak asasi manusia. Di Indonesia, hal ini dapat dikatakan sulit terjadi karena cenderung adanya satu agama saja yang mendominasi narasi publik. Masyarakat Indonesia dengan agama mayoritasnya cenderung mengabaikan kepentingan dari kelompok minoritas. Atau, mereka dapat menjadi sangat peka terhadap segala masalah yang terkait dengan kelompoknya, tapi cenderung untuk menutup mata atau bisu atas kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap kelompok lain, atau justru dapat juga pihak merekalah yang melakukan tindak kekerasan itu tanpa merasa bersalah atas tindakannya. Dalam agama mayoritas tersebut dapat dikatakan tidak terjadi transformasi nilai-nilai pro-hak asasi manusia, dan keberadaan pihak ini cenderung melemahkan transformasi kelompok lain yang justru lebih minoritas.
Pembahasan dan Penutup
Kelima kendala yang dijabarkann
pada bagian terakhir menunjukkan betapa dua aspek penting yang mendorong
terjadinya integrasi konsep kemanusiaan terhadap praktik kewarganegaraan
terbilang tidak berjalan dengan baik. Dua aspek tersebut, yakni motivasi ataupun intuisi rasional yang semestinya digiatkan melalui suatu deliberasi
publik justru tidak akan terakomodasi dalam suatu masyarakat yang sejak semula
sudah mengalami kekosongan akan adanya kultur hak—dan justru lebih menekankan
semata pada kultur kewajiban, defisit rasa tanggung jawab moral, tidak
berlangsungnya sistem repulikanisme, kehilangan tokoh publik yang dapat secara
tegas menindaklanjuti adanya kesewenangan dalam praktik bernegara, ataupun
tidak adanya dukungan dari pihak mayoritas (dalam konteks F. Budi Hardiman
adalah kelompok mayoritas beragama). Di sinilah peran pejuang hak asasi manusia
diperlukan untuk dapat menggalang tekad demi memperkuat dua aspek penunjang
tersebut: motivasi ataupun intuisi rasional.
Dalam hal ini, tentu peran negara
penting untuk melindungi para pejuang hak asasi manusia ini dari kekerasan yang
mungkin diarahkan kepada mereka. Perlawanan terhadap diskriminasi,
marginalisasi, ataupun represi tidak bisa dilakukan hanya oleh satu pihak.
Diperlukan unsur-unsur yang berlaku multidimensi, multidisipliner, dengan
pemahaman yang memadai atas konsep-konsep kemanusiaan (liberal maupun
republikan) untuk dapat mempraktikkan unsur-unsur hak asasi manusia sebagaimana
dirumuskan.
Adanya demokratisasi dan
modernisasi di segala lini dalam dinamika masyarakat juga tentunya menghadirkan
tegangan-tegangan nilai dalam pemaknaan baru. Nilai-nilai modern dan
tradisional tidak hanya dibenturkan di antara keduanya, tetapi juga menyangkut
pada nilai-nilai kosmopolitan dengan cakrawala global. Dalam artikel terakhir
di buku ini, F. Budi Hardiman lebih menyoroti pada bagaimana budaya dan agama
dapat memberikan sumbangsih pada jalan kita berefleksi dan memperbaiki
persoalan-persoalan pelanggaran hak asasi manusia di tengah masyarakat, dan
bergerak selangkah lebih jauh dari persoalan kepentingan para elite politis
atau pembicaraan ekonomi politik yang bersifat makro. Pembicaraan penerapan hak
asasi manusia dalam level kebudayaan dan agama menunjukkan bagaimana persoalan
dalam penerapan hak asasi manusia ini perlu juga dipecahkan lewat jalan-jalan
yang bersifat mikro dan personal.
Oleh karena itu, refleksi yang
dihadirkan oleh F. Budi Hardiman dalam artikelnya berusaha menggali lebih dalam
mengenai definisi konsep kemanusiaan dalam perdebatan-perdebatan yang relevan. Penjelasan
memadai tentang dua konsep kemanusiaan itu dipaparkannya untuk menerangkan
betapa selama ini hak asasi manusia masih dipandang sebagai warisan budaya
Barat (dengan konsep liberalnya) dan dihadapkan pada bagaimana perangkat hak
asasi manusia tersebut diterapkan dalam budaya Timur (dengan konsep
komunitariannya); dilanjutkan dengan penjelasan bagaimana ketegangan antara dua
konsep itu diselesaikan karena dipandang masih berterima dalam kerangka
epistemis; juga bagaimana kedua konsep tersebut diterapkan dalam kerangka
kewarganegaraan; hingga bagaimana konsep tersebut dipergunakan untuk melihat
mentalitas masyarakat Indonesia sebagaimana yang kemudian dipaparkan melalui
lima kendala terselenggaranya HAM secara memadai di negara ini.
Bagaimanapun, pada akhirnya,
kendala-kendala tersebut hanya dapat diselesaikan oleh para penggiat hak asasi
manusia yang terjun langsung ke lapangan dan menyelesaikan persoalan lewat
penanganan konkret. Refleksi atas kendala-kendala penerapan hak asasi manusia
sebagaimana yang dipaparkan dalam artikel ini akan selalu diperlukan, dan perlu
pula untuk diperbarui secara kontekstual dan terus-menerus. F. Budi Hardiman,
dengan demikian, mengutip sebuah pernyataan dari Munir, seorang pejuang hak
asasi manusia, bahwa “kita harus membongkar ketakutan hingga ke akar-akarnya.
Ini adalah sebuah energy kalau kita mau membangun sistem masyarakat yang
dinamis, merdeka, jujur terhadap sesama…”
Referensi
F. Budi Hardiman. (2011). Hak-hak Asasi Manusia: Polemik
dengan Agama dan Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Franz Magnis-Suseno. (2016, cetakan kedelapan). Etika Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
[1]
Franz Magnis-Suseno. Etika Politik.
(2016—cetakan kedelapan, Gramedia Pustaka Utama), hlm. 173-175.
[2]
Franz Magnis-Suseno. Etika Politik. (2016—cetakan
kedelapan, Gramedia Pustaka Utama), hlm. 14-20.
[3]
Franz Magnis-Suseno. Etika Politik.
(2016—cetakan kedelapan, Gramedia Pustaka Utama), hlm. 172-173.
No comments:
Post a Comment