Pengantar
Sepanjang hidupnya, individu akan
selalu dihadapkan pada pilihan untuk tetap otentik menjadi dirinya sendiri dan
mendasarkan pilihan-pilihannya pada nilai-nilai yang dipegangnya ataukah
terlibat dalam bahaya kerumunan dan menuruti pilihan-pilihan yang diajukan oleh
orang lain. Pada fase perkembangan seorang manusia, beberapa tahap pengenalan
diri didukung oleh keluarga dan terutama oleh orang tuanya. Selama beberapa
waktu hingga ia menjelang dewasa, individu tersebut akan menuruti saja
arahan-arahan yang diberikan dalam lingkup keluarga tersebut. Namun demikian,
pada akhirnya ia akan menemukan titik ketika ia telah memperoleh
prinsip-prinsip individualitas yang memungkinkannya untuk menentukan sendiri
jalan hidupnya dan benar-benar terlepas dari pengaruh pendapat orang lain.
Perihal ini, Søren Kierkegaard dalam tulisan-tulisannya sangat bernas
memaparkan tentang apa yang mungkin dilakukan oleh seseorang untuk berhasil
melalui pergulatan hidup demi menjadi dirinya sendiri. Artikel ini akan
memaparkan beberapa tulisan Kierkegaard yang dia tuliskan dengan nama
samarannya,[1] tulisan-tulisan tersebut
penting untuk membantu mengembangkan dasar pemahaman pembaca mengenai
otentisitas diri manusia.
Dalam rentang kekaryaannya, Kierkegaard
membahas proses ketika individu menentukan keputusan ketika dihadapkan pada
banyak pilihan sebagaimana tampak jelas dalam tulisan Either/Or, A Fragment of Life (1843)[2], proses ketika
individu tersebut merasa gelisah dalam menghadapi pilihan-pilihannya
sebagaimana dipaparkan dalam tulisan Fear
and Trembling (1843)[3] dan The Concept of Anxiety (1844)[4], proses ketika
individu tersebut berusaha memperoleh pengetahuan dan kebenaran yang dapat
membebaskannya dari kecemasan menghadapi pilihan tersebut sebagaimana tertuang
dalam tulisan Philosophical Fragments, or
a Fragment of Philosophy (1844)[5], hingga pada
akhirnya ia dapat menemukan bahwa kebenaran dapat diperoleh dari
subjektivitasnya yang perlu ia apropriasikan ke dalam hidupnya sebagaimana
dituturkannya dalam Concluding
Unscientific Postscript to Philosophical Fragments (1846).[6] Penjelasan
mengenai proses-proses tersebut kemudian dihadapkan pada tulisan Kierkegaard
berikutnya, yakni Two Ages: The Age of
Revolution and The Present Age, A Literary Review (1846)[7] yang memaparkan
mengenai keadaan masa sekarang yang dihadapi oleh individu.
Dalam TA, pemaparannya mengenai keadaan masa sekarang yakni yang terjadi
pada 1846 saat artikel tersebut dituliskannya—dan agaknya masih relevan dengan
keadaan masa milenium sekarang ini—diperbandingkannya dengan masa revolusi yang
merujuk pada Revolusi Prancis 1789. Ia menggambarkan masa sekarang sebagai masa
yang gelap dan tanpa hasrat lantaran individu dihadapkan pada kegamangan berada
di tengah-tengah kerumunan dan kehilangan jati dirinya. Penjelasannya mengenai
musabab kegamangan tersebut adalah lantaran individu kehilangan prinsip-prinsip
individualitasnya. Pemahaman terhadap teks-teks heteronim Kierkegaard lainnya
seperti EO, FT, TCA, PF, dan CUP
dengan demikian menjadi penting sebagai modal pembacaan atas TA sehingga, apabila dikehendaki,
pembaca dapat menemukan pemecahan atas masalah yang dipaparkan Kierkegaard
terkait kondisi masa sekarang. Adapun demikian, artikel ini hanya akan
mendalami teks CUP untuk membantu
menjelaskan subjektivitas kebenaran serta proses apropriasi yang semestinya
dilalui seorang individu untuk dapat bertahan dalam keadaan present age.
Present Age: Hasrat yang
Lemah, Problema Ketergila-gilaan atas Uang, Penyamarataan Individu ke dalam
Publik, hingga Meredupnya Prinsip Individualitas
TA
adalah ulasan dan respons S. Kierkegaard atas novel Thomasine Christine
Gyllembourg-Ehrensvard berjudul Two Ages,
yang dipublikasikan pada 30 Maret 1846, setelah terbitnya karya pseudonim Kierkegaard
yang diedit oleh S. Kierkegaard dan ditulis oleh Johannes Climacus, yang
berjudul CUP. Teks ini membahas
mengenai tegangan antara era revolusi dan era sekarang. Era revolusi (revolutionary age), lebih spesifik
merujuk pada Era Revolusi Prancis, dikatakannya sebagai era yang penuh gejolak
dan dengan gejolaknya itu tetap mempertahankan prinsip-prinsip kontradiksi
sehingga yang baik maupun yang buruk tetap dapat terbedakan. Sementara itu, era
sekarang (present age)—merujuk pada
tahun ditulisnya ulasan ini, yakni era modern pasca-Revolusi Prancis tahun
1846—adalah era yang tidak terintegrasi, lantaran era ini menekankan pada
penyamarataan yang mengaburkan prinsip-prinsip kontradiksi sehingga media dan
publik dapat mendominasi dengan prinsip-prinsip konformitasnya dan mendorong
sebanyak-banyaknya individu untuk menanggalkan kediriannya demi terlibat dalam
kerumunan orang banyak dan terlibat dalam pergunjingan.
Perihal kategorisasi era yang telah
dipaparkan sebelumnya, Kierkegaard menerapkan dua distingsi: pada era dengan hasrat
yang kuat (passionate age),
antusiasme adalah prinsip pemersatu (unifying
principle) generasi, sementara pada era dengan hasrat yang lemah (passionless/very reflective age), rasa
cemburu adalah prinsip pemersatunya. Kierkegaard
mengategorikan era saat ini (present age)
sebagai era dengan hasrat yang lemah. Padahal, hasrat yang lemah adalah
penghambat bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang berarti. Berbeda dengan
era revolusi yang menampilkan hasrat yang hebat dan menurut saya dapat
diandaikan seperti kawah gunung yang bergejolak, era modern adalah era yang
sangat reflektif dengan hasrat yang lemah yang menurut saya dapat dianalogikan
layaknya air laut yang tenang, air laut dengan ombaknya yang kehilangan daya,
laut yang kehilangan maknanya. Era ini adalah era ketika orang-orang dapat
tenang-tenang saja untuk tidak berbuat apa-apa, dan lebih mementingkan aspek
publisitas atau hal yang tampak di permukaan alih-alih kedalaman yang
mendorongnya melakukan hal-hal esensial.
Salah satu hal dangkal yang
Kierkegaard sebutkan terjadi di era sekarang adalah ketergila-gilaan masyarakat
atas uang kertas (paper money) dan
transaksi yang menggunakan uang kertas. Uang adalah objek kehendak (the object of desire) generasi saat itu.
Di era modern, orang-orang amat jarang menaruh rasa cemburu pada kemampuan yang
dimiliki oleh orang lain, mereka cenderung hanya tertarik pada uang dan
menganggap bahwa hidup mereka telah lengkap hanya dengan mengukur kepemilikan
mereka atas setumpuk kekayaan material. Sebagai era yang tanpa hasrat, prinsip
yang berlaku adalah transaksi dan sirkulasi uang dan rasa cemburu yang muncul
adalah rasa cemburu semata-mata menyangkut kepemilikan atas uang kertas. Padahal,
pada satu titik, di tengah era uang kertas ini pula, suatu saat seseorang akan merasa
kosong dan merindukan terdengarnya gemerincing uang koin (coin) yang jatuh, suatu hal yang lebih primitif seperti halnya
hal-hal yang menandai vitalitas hidup, keberadaan orang yang diagungkan, kehadiran
cinta, kecemerlangan para pemikir, para ksatria keyakinan, serta orang-orang
yang menghargai derajat kemanusiaan.
Dikatakannya pula, era ini
membiarkan segala jenis peristiwa berlangsung, tetapi sekaligus melenyapkan
makna dari peristiwa-peristiwa itu. Di tengah kekosongan makna ini, ia menarik
kembali arti penting moralitas, yakni karakter yang diperoleh dari kedalaman
batin (inwardness). Hanya dengan
kembali ke dalam batinnya, seseorang dapat memiliki keutuhan diri, kedirian
atau individualitas (individuality). Sementara
itu, era ini justru menekankan bahwa seseorang harus melakukan penyamarataan (leveling), yang mengutamakan aspek
konformitas. Bagi Kierkegaard, abstraksi dari penyamarataan ini terkait dengan
negativitas yang lebih tinggi: kemanusiaan murni—suatu konsep yang agaknya
dapat dipandang sebagai utopia. Penyamarataan, baginya, adalah suatu urgensi
dekaden.
Pada poin tersebut, prinsip-prinsip
egaliter yang diantarkan oleh slogan jurnalisme a la media (the press) justru mengaburkan keunikan
dari individu dan menghilangkan arti penting prinsip kontradiksi (the principle of contradiction). Demi
penerimaan oleh orang lain, individu terdorong untuk menyatu bersama kerumunan
dan kehilangan jati dirinya di tengah orang banyak (the public). Untuk menjaga hubungan dengan orang banyak itu,
individu tidak membahas hal-hal yang esensial, yang mirisnya hal ini didukung
pula oleh publisitas media dengan borbardir gunjingan, sehingga individu dengan
instan kehilangan kediriannya dan turut bergunjing, lantas menjadi penggunjing
(the chatter). Baik media maupun
orang banyak dikatakan oleh Kierkegaard sebagai hantu (phantom). Mereka tak memiliki wujud yang konkret dan hanya berupa abstraksi yang
menjadikan setiap individu yang berada dalam kelompok tersebut bukan siapa-siapa
(nobody). Mereka hanya akan menjadi
statistik tanpa karakter. Bahkan, hal ini mendorong ke arah yang lebih abstrak:
demi diterima oleh orang banyak, dengan dorongan rasa cemburunya (selfish envy), semakin banyak orang akan
rela menanggalkan kediriannya untuk menjadi bukan siapa-siapa. Ia lebih jauh
lagi mengeksplor mengenai kemungkinan dari rasa cemburu untuk berubah menjadi
kecemburuan etis, dan pada saatnya membuat seseorang kehilangan karakternya (principle of characterlessness).
Terdapat kesetujuan di tengah
masyarakat bahwa penyamarataan dapat berlaku dan menjadi penting bagi
berlangsungnya suatu generasi. Kierkegaard memandang, tidak demikian halnya
bagi keberadaan individu. Prinsip persamaan (equality) yang menghendaki segala hal untuk menjadi egaliter adalah
baik apabila ditempatkan pada konteks kemasyarakatan yang tepat. Baginya, tidak
seorang pun dapat menghindari era penyamarataan ini lantaran prinsip egaliter
ini memiliki daya negatif yang sangat kuat. Oleh karena itu, ia mengajukan
bahwa prinsip individualitas (the
principle of individuality) dapat mengatasi hal ini dengan mengembangkan
abstraksi atas prinsip persamaan dalam suatu generasi beserta lompatan
keyakinan (inspired leap of religiousness).
Prinsip individualitas ini dapat mengantarkan seseorang pada kebenaran yang
abadi, dan bukan kebenaran yang temporer yang semata-mata ditawarkan oleh
refleksi yang stagnan (stagnation in
reflection).
Dengan mempertahankan individualitasnya, seseorang dapat bertahan untuk tetap menjadi konkret. Prinsip individualitas memungkinkan seseorang untuk memiliki karakter dan kedirian yang mencerminkan keunikan-keunikannya sehingga ia tidak dapat direduksi ke dalam statistik belaka. Ia tidak akan menjadi sekadar kerumunan, orang banyak yang tanpa identitas. Kierkegaard menyebutkan pula bahwa seseorang yang membaca, dan dengan demikian memiliki kesadaran atas dirinya, dapat menghindarkan dirinya dari kesemuan berada di tengah-tengah kerumunan (a single individual who reads is not a public). Ketika seseorang memegang prinsip individualitas, di tengah kebisingan orang-orang yang bergunjing, ia akan mampu bergeming (silence). Sikapnya untuk hening di tengah hiruk-pikuk era modern dimungkinkan lantaran ia mampu untuk masuk ke dalam relung batinnya. Poin pentingnya adalah bahwa hanya orang yang dapat bersikap hening di tengah keributan dapat mengatakan hal-hal yang esensial, dan dengan demikian dapat bertindak esensial. Keheningan, yang menunda tindakannya untuk memilah hal-hal yang mencerminkan kepribadiannya, adalah jalan untuk mencapai sesuatu yang ideal. Ia mengandaikannya selayaknya seorang pengarang yang membutuhkan privasi yang merupakan inner sanctum-nya.
Dengan mempertahankan individualitasnya, seseorang dapat bertahan untuk tetap menjadi konkret. Prinsip individualitas memungkinkan seseorang untuk memiliki karakter dan kedirian yang mencerminkan keunikan-keunikannya sehingga ia tidak dapat direduksi ke dalam statistik belaka. Ia tidak akan menjadi sekadar kerumunan, orang banyak yang tanpa identitas. Kierkegaard menyebutkan pula bahwa seseorang yang membaca, dan dengan demikian memiliki kesadaran atas dirinya, dapat menghindarkan dirinya dari kesemuan berada di tengah-tengah kerumunan (a single individual who reads is not a public). Ketika seseorang memegang prinsip individualitas, di tengah kebisingan orang-orang yang bergunjing, ia akan mampu bergeming (silence). Sikapnya untuk hening di tengah hiruk-pikuk era modern dimungkinkan lantaran ia mampu untuk masuk ke dalam relung batinnya. Poin pentingnya adalah bahwa hanya orang yang dapat bersikap hening di tengah keributan dapat mengatakan hal-hal yang esensial, dan dengan demikian dapat bertindak esensial. Keheningan, yang menunda tindakannya untuk memilah hal-hal yang mencerminkan kepribadiannya, adalah jalan untuk mencapai sesuatu yang ideal. Ia mengandaikannya selayaknya seorang pengarang yang membutuhkan privasi yang merupakan inner sanctum-nya.
Inwardness: Menghayati Apa yang Ada di Relung Batin, Menemukan Kebenaran sebagai Subjektivitas, dan Bagaimana Menjadi Diri Sendiri
Dalam CUP, Kierkegaard melalui pseudonim Climacus mempersoalkan kebenaran
objektif Hegel dengan kaitan pengalaman hidup sehari-hari. Climacus mengakui
bahwa Hegel merupakan salah satu filsuf yang pemikirannya dapat melampaui pendahulu-pendahulunya,
tetapi ia memandang bahwa kebenaran objektif (dalam terminologi Hegel:
objektivitas murni) yang ditawarkan Hegel dalam pemikiran-pemikirannya—atas
segala sesuatu di muka bumi ini—tidak mungkin dapat diperoleh bahkan meski pada
akhir sejarah. Perlu digarisbawahi bahwa Climacus tidak menolak adanya
kebenaran objektif, karena ia pun telah secara sadar menerapkan distingsi
terhadap kebenaran objektif yang bersifat ilahiah maupun kebenaran objektif
yang bersifat keduniawian seperti yang ditawarkan dalam pengetahuan saintifik,
Climacus hanya menyatakan bahwa kebenaran objektif tersebut tidak mungkin
dicapai oleh individu di masa hidupnya karena kebenaran tersebut bersifat abadi
dan hanya dapat dipahami dalam keabadian (the
eternal truth is to be understood eternally). Dengan demikian, Climacus
dapat dipandang lebih menekankan pada kebenaran objektif yang mampu diperoleh
individu dalam hidupnya yang kemudian ditangkapnya sebagai kebenaran subjektif,
yang semestinya lebih diprioritaskan oleh individu tersebut.
Dalam teksnya, Climacus memaparkan
pandangannya yang positif atas tesis-tesis Gotthold Ephraim Lessing, seorang
kritikus Jerman yang berfokus pada estetika, yang mengajukan mengenai hal-hal yang mungkin dan hal-hal yang aktual, terkait pengetahuan
yang dapat dicapai individu. Ia menghargai Lessing yang tidak bersikap
menggurui terhadap kebenaran dengan
menyatakan bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui subjektivitas. Selanjutnya,
Climacus mengajukan adanya pembeda di antara pemikiran objektif dan pemikiran
subjektif secara teoretis. Di sinilah ia kemudian mengharapkan adanya suatu
bentuk refleksi yang mendayagunakan relung batin individu untuk memahami
kebenaran yang ditawarkan. Refleksi tersebut adalah refleksi batin (reflection of inwardness) yang berperan
sebagai refleksi-ganda (double reflection)
karena memungkinkan individu untuk menghayati di dalam dirinya hal-hal yang ia
temukan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Wujud individu sebagai roh yang
mengetahui (knowing human spirit)—dan
dengan demikian memiliki keterbatasan-keterbatasan—menghalanginya untuk
mencapai pengetahuan dalam tingkat kebenaran objektif (ia menyebutnya the pure I-I). Oleh karenanya, individu
harus menyadari keterbatasannya sebagai pengada. Kesadaran inilah yang
memampukan individu untuk mengalami reduplikasi abstrak, yakni double reflection, melalui refleksi
objektif dan refleksi subjektif sekaligus dengan mengandaikan bahwa kebenaran
objektif hanyalah sebatas pada apa yang dapat diterima oleh kelima inderanya
dalam mempersepsikan dunia dan bukanlah objektivitas murni.
Secara teoretis, terkait dengan
pemikir-pemikir lainnya selain terhadap Hegel, agaknya Climacus telah cukup
baik mengantisipasi kritik Edmund Husserl mengenai jalan berpikir
saintifik-objektif melalui apa yang disebut Husserl sebagai “the passionate interest of the natural
scientist” yang menyatakan bahwa ada kemungkinan pengabaian atas fakta-fakta yang ada lantaran
kita hanya menghendaki melihat apa yang ingin kita lihat, maupun komplain
Merleau-Ponty terkait pemikiran objektif yang tidak acuh terhadap adanya
subjek.[8]
Seturut dengan pandangan mereka, Climacus berupaya mengantarkan pembacanya pada
kebenaran yang dapat maupun tidak dapat dipahami sebagai “objektif” dengan
menyatakan bahwa “apa yang kita
ketahui… ditentukan oleh bagaimana
kita mengetahuinya”.[9]
Hal ini mengantarkan pemikiran Climacus selompat lebih jauh daripada pemikiran
Immanuel Kant yang menyampaikan dalam pengantarnya pada edisi kedua Critique of Pure Reason bahwa logika bekerja
seturut dengan jalan-jalan pengetahuan yang mengutamakan karakter abstrak dan
hipotetis, sementara area pengetahuan lainnya tidak bekerja secara presisi dan
saintifik sebagaimana logika. Dalam penjelasannya Doktrin Metode Transendental
yang merupakan semacam revolusi kopernikan dalam Filsafat, Kant menyatakan
asumsinya bahwa objek mengarahkan dirinya pada subjek—berbeda dengan pandangan
terdahulu mengenai kesadaran seperti Rene Descartes yang menyatakan bahwa
subjeklah yang mengarahkan dirinya pada objek. Pada akhirnya, Kant menyatakan
bahwa tidak terdapat ruang bagi subjektivitas di dalam jalan berpikir matematis:
“here one must know, or refrain from all
judgment.”[10] Doktrin tersebut
dinyatakan oleh Kant untuk menjelaskan mengenai fakta-fakta yang mesti ditelaah
secara saintifik, semisal fakta logika yang termuat di dalam bidang Matematika.
Sementara itu, Climacus tampaknya menolak menggunakan jalan pemikiran matematis
semacam itu dalam hal-hal menyangkut kehidupan sehari-hari, meski dalam artian
ini ia tidak menampik penggunaannya dalam
ranah saintifik. Bahwasanya, individu yang memiliki hasrat yang kuat dan
menemukan kebenaran sebagai subjektivitas tidak dapat direduksi ke dalam
jalan-jalan berpikir matematis yang terlalu ketat dan rigor. Pada poin ini, dapat
ditafsirkan bahwa Climacus mengetengahkan refleksi subjektif sebagai jalan
kebenaran yang tidak mereduksi individu ke dalam rigoritas yang menampik
keunikan-keunikan ciri khas tiap individu.
Meski lebih mengunggulkan refleksi subjektif dan menyatakan kebenaran sebagai subjektivitas, Climacus selanjutnya justru mengatakan bahwa tindakan memilih dan memutuskan adalah bagian dari penderitaan yang mesti dihadapi manusia.[11] Seseorang menyadari bahwa kepadanya ditawarkan banyak pilihan, karena itu baginya memilih satu saja berarti menyingkirkan pilihan lain. Ketidaktahuannya mengenai apa yang ia pilih akan menyebabkan penderitaan. Untuk mengatasi penderitaan itulah, seseorang mesti menghasrati (passionate) sepenuhnya apa yang dipilihnya. Dalam arti ini, ia harus berani melompat dan meyakini apa yang dipilihnya, meski lompatan itu menuntutnya untuk meninggalkan segala bentuk kemapanan demi hal-hal yang tidak pasti. Dikatakan oleh Climacus, hal ini hanya dapat dicapai ketika seseorang memiliki iman (faith), yakni keyakinan akan hal-hal yang berada di luar jangkauannya, termasuk imannya kepada Yang Ilahi. Keyakinan tersebut pada akhirnya memungkinkan individu untuk menggali ke dalam dirinya nilai-nilai paling penting dari suatu kebenaran, untuk kemudian dibenturkannya terhadap kenyataan yang dihadapinya dan lantas dikembalikannya ke dalam dirinya melalui jalan apropriasi.
Meski lebih mengunggulkan refleksi subjektif dan menyatakan kebenaran sebagai subjektivitas, Climacus selanjutnya justru mengatakan bahwa tindakan memilih dan memutuskan adalah bagian dari penderitaan yang mesti dihadapi manusia.[11] Seseorang menyadari bahwa kepadanya ditawarkan banyak pilihan, karena itu baginya memilih satu saja berarti menyingkirkan pilihan lain. Ketidaktahuannya mengenai apa yang ia pilih akan menyebabkan penderitaan. Untuk mengatasi penderitaan itulah, seseorang mesti menghasrati (passionate) sepenuhnya apa yang dipilihnya. Dalam arti ini, ia harus berani melompat dan meyakini apa yang dipilihnya, meski lompatan itu menuntutnya untuk meninggalkan segala bentuk kemapanan demi hal-hal yang tidak pasti. Dikatakan oleh Climacus, hal ini hanya dapat dicapai ketika seseorang memiliki iman (faith), yakni keyakinan akan hal-hal yang berada di luar jangkauannya, termasuk imannya kepada Yang Ilahi. Keyakinan tersebut pada akhirnya memungkinkan individu untuk menggali ke dalam dirinya nilai-nilai paling penting dari suatu kebenaran, untuk kemudian dibenturkannya terhadap kenyataan yang dihadapinya dan lantas dikembalikannya ke dalam dirinya melalui jalan apropriasi.
Tanggapan Pribadi
Pada masa pasca-Revolusi Prancis
terutama di tahun-tahun Kierkegaard mengulas novel Two Ages di tahun 1846, saya membayangkan situasi dunia yang mulai
mengarah pada upaya-upaya industrialisasi dan bagaimana masyarakat pada masa
itu merespons situasi tersebut. Novel Two
Ages agaknya menyinggung tokoh-tokoh yang hidup dalam situasi itu.
Kierkegaard lebih jauh lagi membandingkan bagaimana kehidupan pada situasi
revolusi, kisaran tahun 1789-1799, cenderung berbeda dengan situasi zamannya.
Di zaman dalam rentang setelah Revolusi Prancis hingga Revolusi Eropa di tahun
1848, agaknya individu cenderung dimampatkan dan direduksi sebagai publik.
Revolusi Prancis dan semangat negara-bangsa tampaknya menjadikan tiap individu
pada masa itu demikian kuat menghendaki adanya kesetaraan (égalité)
dan kebersamaan/persaudaraan (fraternité), meski menghadirkan pula unsur
kebebasan (liberté). Namun, tampak dalam penjelasan Kierkegaard bahwa setelah
hasrat revolusioner era revolusi (revolutionary
age) itu meredup, orang-orang di era sekarang (present age) cenderung bersikap stagnan dan individu-individu di
tengah masyarakat itu melebur menjadi publik dan kehilangan kediriannya.
Dengan situasi meredupnya hasrat zaman
itu, pers justru mendukung publisitas yang berlebihan yang menjadikan
orang-orang semakin pasif dan memborbardir mereka dengan opini yang penuh
gunjingan, seperti halnya artikel yang ditulis oleh Peder Ludvig Møller yang
menyinggung tulisan Kierkegaard, Stages
on Life’s Way.[12]
Ditemukannya mesin cetak Gutenberg bukan hanya berjasa memperbanyak dokumen-dokumen
penting ataupun penyebaran kitab suci, melainkan membuka juga pintu pers dan
media cetak, bahkan membantu penyebarluasan pamflet-pamflet yang bisa saja
berisikan hal-hal temporer, seperti iklan ataupun publisitas yang intensif atas
kehebatan diri sendiri atau kehebatan pihak tertentu. Di satu sisi, pers juga
memiliki dampak positif bagi penduduk Denmark. Pada 1834, terdapat media cetak
liberal yang menyalurkan pendapat publik, pers yang sama mendorong adanya
gerakan liberal dan nasional Denmark.[13]
Sejak pers liberal mulai mengemuka, pada dekade itu kita dapat membayangkan
masyarakat Denmark bergerak untuk terlibat dalam Revolusi Eropa 1848. Dampak
dari revolusi tersebut adalah berubahnya sistem pemerintahan Denmark menjadi
monarki konstitusional pada 5 Juni 1849.
Apabila konteks yang dihadapi oleh
Kierkegaard pada 1846 ditarik bahkan ke abad milenium ini, agaknya pandangan
Kierkegaard masih sangat relevan. Di era media sosial, kenyataan ini bahkan
semakin mencemaskan. Media sosial bekerja dengan prinsip egaliter, di mana
posisi setiap orang ditempatkan setara dan kesetaraan itu (leveling) dalam kasus tertentu bersifat mutlak, misalnya penggunaan
Facebook atau Twitter (dan media sosial sejenisnya) yang menerapkan asas
kesamaan (equality) dengan tidak
mementingkan apakah penggunanya adalah seorang presiden ataukah tukang bersih
kamar mandi. Dengan demikian, media sosial menafikan adanya prinsip kontradiksi
(principle of contradiction). Dalam
situasi ini, setiap orang dapat membagikan apa saja yang ada di pikirannya
bahkan pada setiap detik dan bergunjing tentang apa saja (chattering). Setiap orang yang terlibat dalam media sosial bisa secara
instan kehilangan kediriannya lantaran bergumul dengan sekian banyak peristiwa
yang dipergunjingkan orang-orang di sekitarnya dalam lini massa media sosial di
internet.
Saya melihat urgensi prinsip
individualitas (principle of
individuality) dan sikap hening (silence)
yang dipaparkan oleh Kierkegaard untuk mengatasi gelombang informasi di media
massa yang tak terbendung bagaikan air bah. Pertanyaan yang mengemuka kemudian
adalah: hal apa yang perlu dikembangkan oleh seseorang di zaman ini untuk
memiliki kesadaran akan pentingnya prinsip individualitas dan sikap hening?
Pertanyaan ini mengantarkan saya
pada poin-poin kunci dalam teks-teks pseudonim Kierkegaard terdahulu yang
memaparkan tentang pilihan-pilihan yang dihadapi oleh seseorang dalam hidupnya,
jenis-jenis kebenaran dan bagaimana cara mencapainya, bahwasanya kebenaran
adalah subjektivitas dan kebenaran yang diyakini tersebut harus diapropriasikan
dalam hidup sehari-hari. Saya memilih menilik kembali teks CUP untuk disandingkan dengan TA
karena saya melihat pentingnya refleksi subjektif bagi individu supaya ia
dapat memiliki dan mempertahankan prinsip-prinsip subjektifnya yang dalam teks TA dinyatakan sebagai prinsip-prinsip
individualitas. Saya kira seseorang perlu menggali ke kedalaman dirinya untuk
menemukan subjektivitasnya dan mengapropriasikannya bagi dirinya untuk kemudian
dapat memahami prinsip individualitas dan dapat bersikap hening, suatu sikap
yang memungkinkannya untuk menyampaikan hal-hal yang paling esensial, dan
melakukan tindakan-tindakan yang benar-benar penting.
Referensi
Anthony Furtak,
Rick (ed.). (2010). Kierkegaard’s
Concluding Unscientific Postscript: A Critical Guide. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hong, Howard V. dan Edna H. Hong (eds.). (2000). “Two Ages: The Age of Revolution and The Present
Age: A Literary Review” dalam The
Essential Kierkegaard. New Jersey: Princeton University Press.
______________________________________. “Concluding Unscientific Postscript to Philosophical
Fragments” dalam The Essential
Kierkegaard. New Jersey: Princeton University Press.
Olson, Kenneth E. (1966). The history makers: The press
of Europe from its beginnings through 1965. Louisiana: Louisiana
State University Press.
Stewart, John. (2015). A
Companion to Kierkegaard. New Jersey: Wiley-Blackwell.
Tjaya, Thomas Hidya. (2010). Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
[1]
John Stewart dalam pengantarnya untuk A
Companion to Kierkegaard menulis bahwasanya Kierkegaard menulis dengan
pseudonim demi memperoleh keterhubungan antara dirinya sebagai pengarang dengan
sebanyak-banyaknya pembaca berbeda yang tertarik pada tiga tema sentral yang
sering dibicarakannya dan berkaitan dengan apa yang dipercayainya sebagai tiga
tahap kehidupan manusia: tahap estetis, tahap etis, dan tahap religius.
[2]
Naskah heteronim Kierkegaard ini ditulis oleh anonim dan diedit oleh Victor
Eremita. Selanjutnya akan disingkat sebagai EO.
[3]
Naskah heteronim Kierkegaard ini ditulis oleh Johannes de Silentio. Selanjutnya
akan ditulis FT.
[4]
Naskah heteronim Kierkegaard ini ditulis oleh Vigilius Haufniensis. Selanjutnya
akan ditulis TCA.
[5]
Naskah heteronim Kierkegaard ini ditulis oleh Johannes Climacus dan diedit oleh
S. Kierkegaard. Selanjutnya akan ditulis PF.
[6]
Naskah heteronim Kierkegaard ini ditulis oleh Johannes Climacus dan diedit oleh
S. Kierkegaard. Selanjutnya akan ditulis CUP.
[7]
Naskah heteronim Kierkegaard ini ditulis oleh S. Kierkegaard. Selanjutnya akan
ditulis TA.
[8]
Rick Anthony Furtak (ed.).
Subbab “The Importance of Being Subjective” yang ditulis oleh Rick Anthony Furtak dalam Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript: A Critical Guide (Cambridge: Cambridge University
Press, 2010), hlm. 99-100. Furtak memperolehnya dari teks Edmund Husserl, The Crisis
of European Sciences and Transcendental Phenomenology (Illinois: Nothwestern University Press, 1970),
hlm. 129; dan teks Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception (New York: Routledge, 2005), hlm. 240.
[9]
Ibid., hlm. 101. Furtak mengutipnya dari
teks Frederick Beiser, “The Enlightentment and Idealism” dalam The Cambridge Companion to
German Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), hlm.
20. Terdapat juga rujukan dalam teks Beiser tersebut bahwa Ronald M. Green menyebut secara singkat
mengenai “epistemological link” dalam
Kierkegaard and Kant: The
Hidden Debt (SUNY Press, 1992), hlm. 83.
[10]
Ibid, hlm. 101. Furtak mengutipnya dari Critique of Pure Reason A823/B851, hlm.
749. Furtak menyebutkan bahwa Kant menyinggung Aristoteles yang menyatakan
bahwa ekspektasi tidak dapat digantungkan sepenuhnya pada seorang matematikawan
ataupun bukti yang absolut pada seorang penerap dialektika (Lihat Nicomachean Ethic 1094b-1095a).
[11]
Thomas Hidya Tjaya. “Kebenaran sebagai Subjektivitas, Relasi dengan yang
Transenden” dalam Kierkegaard dan
Pergulatan Menjadi Diri Sendiri (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2010), hlm. 124.
[12]
Pada 22 Desember 1845, Peder Ludvig Møller, mahasiswa Universitas Kopenhagen,
melancarkan kritik atas teks Stages on Life’s Way dan diterbitkan The Corsair,
surat kabar satire Denmark. Ia memuji kejenakaan dan intelektualitas
Kierkegaard, tetapi mempertanyakan apakah Kierkegaard dapat menghidupi hal-hal
yang dikatakannya. Kierkegaard membalas kritik tersebut dengan respons
sarkastis, yang menyatakan bahwa Møller melancarkan kritik terhadapnya hanya
untuk menarik perhatian elite kebudayaan Denmark. Peristiwa kehidupan
Kierkegaard ini disebutkan oleh beberapa penelaah pemikiran Kierkegaard sebagai
peristiwa The Corsair Affair.
[13]
Kenneth E. Olson, The history makers: The press
of Europe from its beginnings through 1965 (LSU Press, 1966),
hlm. 50 – 64, 433.
No comments:
Post a Comment