2014/06/05

Mokamentor dengan AS Laksana (2)

Ternyata, saya dan AS Laksana memiliki pandangan yang berbeda tentang pola program mentor. Saat saya mengontak mentor saya di awal Mei dengan tawaran mentor-jarak-jauh yang barangkali bisa disesuaikan seperti kelas dasar penulisan yang saya temui lewat tautan ini, ia membalas:
Sebenarnya aku mengharapkan hal yang berbeda dengan program mentoring, yang kupikir akan menjadikan suasana pembelajaran lebih informal dan tiap pertemuan akan menjadi kesempatan untuk saling berbagi. Aku tidak akan berteori macam-macam dalam mentoring dan hanya menyampaikan apa-apa menurut pengetahuan yang kumiliki. Dan merespons perkembangan pekerjaanmu dalam cara seperti itu juga. Tapi kok pertemuan kita tidak berjalan lancar ya?
Melalui jawabannya itu, saya menduga AS Laksana meminta ketuntasan beberapa bab Obituari Omi untuk kemudian dikomentari. Apalagi, saat ia menambahkan: “Jadi, kita saling menunggu. Padahal yang lebih baik adalah saling mendahului.

Bila kamu dalam keadaan dengan sengaja vakum menulis fiksi selama setahun (dan kerjamu hanya berkutat dengan naskah nonfiksi) dan kamu merasa ada kisah yang mesti kamu tuliskan, tapi rasanya berat betul untuk memulainya, bagaimana perasaanmu saat membaca kalimat itu?

Sekarang sudah bulan Juni, dan saya belum mulai menulis Obituari Omi. Dan, sejak surel dibalas pada pertengahan Mei, saya tidak berani menyambangi sang mentor karena saya tak menghasilkan perkembangan apa pun. Padahal sebelum ini, saya terbilang cerewet sekali untuk bertanya. Misalnya, dalam satu percakapan, saya pernah menanyakan tentang Indonesianis di Australia yang banyak menerjemahkan karya-karya penulis Indonesia, tapi tak melihat kecenderungan orang Indonesia balik menerjemahkan karya-karya penting di Australia atau Oseania. Ambil contoh, Patrick White yang menjadi satu-satunya pemenang Nobel dari Australia, bila kita tak menghitung Coetzee yang sejatinya kelahiran Afrika. Saya belum melihat teman saya punya karya terjemahan Patrick White. Atau, suatu kali saya pernah menanyakan pendapatnya tentang Omi Intan Naomi dan Oriana Falacci, dua perempuan galak yang menjadi model peranan karakter Omi dalam Obituari Omi.

Meski saya tampak tak peduli-peduli amat pada euforia menjelang pilpres ini (yang membuat orang-orang tampaknya sedikit melupakan Piala Dunia minggu depan), selama mengerjakan novel Obituari Omi ini, saya dibarengi tuntutan kerjaan lain yang benar-benar menyita waktu dan pikiran. Kalau tiba masanya saya punya waktu untuk menggarap si jabang novel, saya justru sulit berkonsentrasi.

Plot dan karakter sudah benar-benar utuh di kepala. Setting dipilih di rumah makan Cina karena saat meminjam toilet di sebuah rumah makan Cina, saya melihat sebuah keluarga sedang makan malam, dengan seorang kakek duduk di kursi roda, saya juga merasakan interaksi yang hangat di antara pengolah masakan dan pencuci piring di rumah makan itu. Sesederhana itu. Selain itu, Omi ternyata punya seorang adik perempuan dengan karakter bertolak belakang darinya karena saya tiba-tiba merasa karakter Omi tidak akan hidup bila dia menjadi anak tunggal. Kedua orang tuanya tidak jadi mati karena kecelakaan, saya menyisakan ibunya untuk Omi, sementara ayahnya terbunuh secara janggal dan karena peristiwa pembunuhan janggal itu, sang Ibu akhirnya menjadi gila dan dirawat di rumah sakit jiwa. Yang masih tetap sesuai dengan plot semula hanyalah nenek dan kakeknya yang cerewetnya tiada tara. Selain itu, Omi akan berkuliah Filsafat dan dia akan memiliki kelompok pergaulan seperti teman-teman di Lifepatch. Dalam satu kesempatan, saya menculik seorang teman dari Jakarta dan pacar adik sepupu saya untuk mampir ke sana dan kami sepakat bahwa semangat interdisipliner baik ditumbuhkan dalam satu karakter. Saya ingin para muda-mudi yang membaca Omi akan memiliki ketertarikan luas, mendalam, dan mendasar seperti Omi (ceile). Meskipun saya sudah merencanakan demikian, saya sejujurnya masih ketar-ketir juga memikirkan teknik yang tepat untuk menjadikan ide-ide ini tidak bermuatan berat. Saya ingin menuliskan kisah remaja yang sederhana, tapi menunjukkan rasa penasaran, gejolak hidup, keceriaan, kejahilan, humor gelap, persahabatan, dan semua hal-hal mendasar itu dalam karakter Omi dan teman-teman di sekitarnya.

Jadi, dengan betapa terangnya kisah Obituari Omi ini di kepala, plot dan fragmen itu sebetulnya hanya tinggal dituliskan kalimat per kalimat. Ada beberapa hambatan kecil sebelum kesadaran "disiplin" itu datang pada saya. Kibor laptop saya sempat rusak karena sederetan huruf di bagian 'zxcvbnm,.' begitu susah ditekan (saya sampai perlu seperti memukul-mukul mereka untuk bisa mengetikkan huruf di barisan itu), dan itu lumayan menghambat produktivitas (untuk segala hal yang berkaitan dengan ketak-ketik). Untunglah, hati saya akhirnya terketuk untuk merelakan kibor (yang membantu menyelesaikan SPTJKYJTC) diganti dengan yang baru. Selain masalah kibor, entah kenapa, terkadang saya merasa tak menemukan tantangan dalam menggarap Obituari Omi. Saya masih mencari-cari "eksperimen" macam apa yang bisa saya lakukan dalam mengeksekusi ide-ide itu. Maka itu, kerja saya sehari-hari, untuk menyemangati diri menulis novel, adalah membaca wawancara-wawancara di The Paris Review atau mencari informasi seputar film yang saya sukai (siapa sutradaranya, apa yang sedang digarap penulis skenarionya, dobrakan apa yang mereka rencanakan) dan mengunduh buku-buku elektronik seputar tema novel. Artikel-artikel di Paris Review, misalnya, berguna juga untuk melihat pergulatan hidup para penulis, mengetahui resep rahasia dalam menggarap karya-karya mereka, atau setidaknya berbagi derita betapa penuhnya hidup. Dan, tetap saja saya belum bisa mulai menggarap novel saya sendiri. Terlalu banyak asupan informasi yang tertimbun, entah di sebelah mana di kepala ini.

Saya mengirimkan plot novel ke AS Laksana, sekitar 4 halaman berisi fragmen-fragmen dan karakterisasi, pada 13 Mei. Senormalnya kelas berjalan setiap dua minggu. Namun, saya lebih sering merasa sedang belum perlu berkonsultasi hingga awal Juni ini, sebab balasan surel AS Laksana esok harinya membungkam saya: 
Sudah kubaca, Dewi. Aku belum bisa membayangkan detailnya akan seperti apa dan cerita ini bakal berkembang ke arah mana. Tapi menulis novel seringkali begitu. Dalam hal ini aku agak sepakat dengan E. L. Doctorow yang mengatakan, "Menulis novel serupa dengan mengemudikan mobil di malam hari. Kita hanya bisa melihat ke depan sejauh nyala lampu, tetapi kita tetap bisa menempuh perjalanan sampai tujuan."
Saranku, menulislah setiap hari pada jam yang sama. Terserah kau bisa memilih waktumu sendiri. Menulis pada jam yang sama adalah cara yang baik untuk mempersiapkan tubuh dan kesadaran. Sehingga menulis akan sama dengan kegiatan sehari-harimu yang lain, seperti makan, tidur, dan sebagainya. Menulis pada akhirnya hanya cara kita membangun kebiasaan.
Nanti akan kubaca satu kali lagi, satu kali lagi, satu kali lagi, dan seterusnya dalam seminggu ini, sampai aku menjadi akrab dengan cerita yang hendak kautulis.
Atau, sepertinya saya akan mulai berkonsentrasi menggarap Obituari Omi ini di bulan Juni. Saya sering bilang kepada beberapa orang, bahwa bulan Juni adalah bulan keberuntungan bagi saya: bulan ketika cerpen saya dimuat untuk kali pertama, ketika saya memulai kalimat pertama SPTJKYJTC dan kemudian saya menjadikannya cerpen untuk hadiah ulang tahun diri sendiri, dan ketika akhirnya SPTJKYJTC terbit. Saya pikir, saya mesti menambah satu keberuntungan lagi dalam daftar itu: bulan ketika naskah novel Obituari Omi ditamatkan. 

Tulisan Terdahulu