2012/01/05

Pot Anggrek

IBU menggantung pot anggrek di jendela kamarku pagi ini. Sambil tersenyum, dia mendekatiku yang separuh mengantuk dan masih berselimut di ranjang. Begitu saja dia mengusap rambutku dan mengucapkan, selamat bertambah tua.

“Pot anggrek—itu hadiah ulang tahun?” kontan aku bertanya, bangkit dari ranjang.

Pot anggrek yang besar itu—menutupi hampir sepertiga jendela kamar. Kutahu benda itu akan menyulitkanku untuk melompati jendela kamar dan menyelinap keluar rumah.

Aku sangat jarang tidur di rumah semenjak diamanatkan kamar pribadi dan berpisah tempat tidur dengan orang tuaku. Dua tahun lalu, setelah aku pĂșber, kamar tak berpenghuni yang sejak dua puluh tahun lalu mereka bangun untukku akhirnya dibukakan, dan aku diminta tidur sendiri di sana. Padahal, hampir tiga belas tahun lamanya aku selalu tidur menengahi ibu dan ayah.

Konsekuensinya jelas, karena tentu saja aku tak pernah betah tidur sendiri di kamar. Kalau bukan di atap, aku selalu menginap di kamar teman sekelasku, atau tanpa sepengetahuan ibu—karena belakangan ayah jarang ada di rumah—aku biasanya menghabiskan malam dengan sekadar berjalan-jalan saja di tengah kota; persis seperti orang yang kehilangan tujuan hidup.

“Kenapa pot ini rumit sekali?” cemasku.

Bukan hanya karena aku tak pernah mampu merawat tumbuhan, tapi karena kait besi yang menggantungkan pot benar-benar terikat kuat pada ventilasi. Aku tak mungkin mampu melepasnya tanpa memecahkannya. “Hadiah ulang tahun macam apa ini…” masih gerutuku.

“Kamu belum punya pacar, kan… belajarlah dari merawat anggrek.” justru begitu bentuk sahutan ibu.

“Bu, begini saja, daripada nanti pun anggrek ini akhirnya mati karena aku tak telaten merawat,” aku menghentikan kalimatku; karena kemudian, aku mendorong pot itu menjauhi kamar. Pot akhirnya terlepas dari kait, dan jatuh, “…sebaiknya anggrek itu kukembalikan ke surga sekarang, supaya di sana bidadari yang merawatnya,” lanjutku.

Hari itu, tanpa kusangka-sangka, pot itu mengenai kepala kakekku. 



MUNGKIN barulah aku satu-satunya cucu dalam sejarah semesta yang membunuh kakeknya sendiri di hari ulang tahunnya dengan secara tidak sengaja mendorong pot anggrek jatuh mengenai kepala si kakek. Barulah kutahu bahwa kebebasan memang benar punya harga yang mesti dibayar. Hanya agar aku bisa terus meloncati jendela kala petang dan bebas bertualang tanpa tidur, aku menolak pot anggrek pemberian ibu dan membunuh kakekku sendiri.

Tentu tidak ada seorang pun di keluarga inti ataupun tetanggaku yang menyalahkanku, karena bahkan setelah jenazah kakek usai diotopsi pun semua orang hingga kewalahan masih dengan keras kepala sibuk ber-amor fati, menyalahkan takdir: seandainya saat itu kakek tidak berdiri tepat di bawah kamarku, seandainya ibu memberikan kado pot anggreknya bukan pagi itu, atau seandainya hadiah ibu bukan pot anggrek.

Sedisemayamkannya jenazah di rumah duka, di hari ulang tahunku, seluruh anggota keluarga inti sibuk menyambut famili yang datang jauh-jauh dari luar kota atau seberang pulau demi berbelasungkawa atas kepergian kakek. Sepupuku melaporkan bagaimana para sanak famili yang hanya dapat kami temui sekali dalam setahun itu merumorkanku di belakang.

Mereka membuatku makin tak paham bagaimana bisa aku membawa petaka di hari jadiku dan aku tetap harus memasang muka menyambut semua yang datang dengan topeng senyumanku.

“Seandainya kakeknya masih hidup petang ini, apa ya yang akan dikadokannya untuk Naraya?” begitu saudara jauh ayah berkomentar ketika jasa pengantar roti tart langganan ibu membawa sekotak tart ukuran besar ke rumah.

Malam hari pun tak lebih ramah karena semakin banyak orang berdatangan untuk mengabarkan rasa dukanya karena kehilangan sosok kakek dan secara halus mengutuki cucunya yang secara tidak langsung berandil besar atas kepergian kakek ‘yang terlalu cepat’.

Baru setelah seharian membantu mengantarkan nampan-nampan panganan untuk tamu, aku minta izin kepada ibu untuk berisitirahat ke kamar.

Di kamarku kusimpan ragam botol obat tidur yang kukonsumsi bila terpaksa mengistirahatkan tubuh. Dengan urutan vertikal acak, ia berjejeran di dalam almari tempat aku menyimpan benda-benda antik, hadiah-hadiah, dan koleksi-koleksiku akan segala sesuatu; dan semua itu bertumpuk-tumpuk di antara kitab-kitab bahasa oriental (aku berkuliah di jurusan Sastra Nusantara), seruling Armenia pemberian ayah, dan beberapa buku tentang sejarah nusantara.

Ingin rasanya kutenggak sebotol—dari sekian banyak botol obat tidur yang ada, tapi apa yang dijajakan di luar kamarku lebih menerbitkan gairah. Aku selalu percaya hari seberat apapun akan selalu dapat kulalui bila aku tak gegabah mengambil keputusan—dan biasanya aku hanya perlu menyendiri, melakukan apa yang kusuka, atau memejamkan mataku seolah tidurku kuniatkan untuk selamanya. Maka, seperti malam-malam sebelumnya, petang itu aku meloncat jendela, berjalan di titian, hingga mencapai atap rumah. Di atap rumahku yang mendatar, aku lantas merebahkan tubuh.


ORANG-ORANG seperti terbius sewaktu menatapku, karena pagi itu ketika jenazah kakek akan dibawa ke pekuburan, aku muncul di hadapan mereka dengan luka cabikan di tubuh yang kubuat sendiri dalam semalam.

Aku tak paham mengapa aku sama sekali tak merasa sakit sewaktu menusukkan pisau ke kulitku dan menusuk-nusukannya terus. Semalaman aku keranjingan mengiris-iris seluruh bagian tubuhku. Ibu yang melihatku untuk pertama kali langsung berlari ke arahku dengan tatapan cemas yang kentara.

“Apa yang kamu lakukan pada tubuhmu, Naraya?!”

Baru ketika ibu memelukku dan menangis demikian kencang, aku benar-benar merasakan sakit yang hebat di sekujur tubuh; dan baru setelah itu, aku memahami arti tatapan orang-orang di sekitarku. Hampir semua orang di sana barangkali bingung mengapa aku masih hidup dengan luka di tubuh yang demikian banyaknya.

Akibat rasa sakit yang bertubi-tubi dan tak mampu kuelakkan, seketika itu juga aku merasa terlepas dari tubuhku.

Kubayangkan, siapapun yang menyusun takdir tengah tertawa terpingkal-pingkal sewaktu aku tersesat di alam pikiranku sendiri. Aku masih dapat dengan jelas mendengar ratapan tangis ibu dan ketergesaan semua orang bahkan ketika aku sama sekali tak mampu merasakan keberadaanku di tubuhku sendiri. [*]



Post Scriptum: Semestinya, pula, cerita ini belum diniatkan selesai.

Semestinya note ini ditulisi ‘Happy 20th Birthday Nauvali La.’ …tapi karena entah kenapa plotnya jadi begini (aku masih gak bisa lepas dari tema-tema kematian), um, cukup tahu saja ya kalau inspirasi cerpen ini dari kamu? Semoga segala kebaikan menyertai tahun-tahunmu ke depan, Dear. Best wishes!~


1/5/2012 12:57:59 AM




2012/01/04

Relokasi Mandiri Kinahreja

Kediaman Mbah Maridjan di Kinahreja kini menjadi objek wisata baru di daerah Kaliurang. Tempat tersebut berjarak lima kilometer dari Wisma Al Kindie. Berliku jalan yang mesti ditempuh untuk mencapainya, melalui jalan berkelok dengan tebing-tebing yang curam di bawahnya, pun hanya dapat dilalui oleh kendaraan pribadi. Meski begitu, banyak orang tidak keberatan berpayah-payah untuk berkunjung. Biaya masuk terbilang relatif murah, kira-kira satu kilometer dari lokasi, terdapat pos penjaga bertarif Rp3.000 per orang. Harga tersebut dengan penuh menawarkan wisata puing reruntuhan bangunan bekas erupsi Merapi serta rumah Mbah Maridjan. 

Erupsi Merapi pada 26 Oktober 2010 menyisakan puing-puing bangunan rumah Mbah Maridjan yang rata dengan tanah. Di tanah lapang itu, ada pembatas dari bambu bertuliskan ‘Dilarang Masuk’ di mana di bagian tengah berdiri simbolisasi makam Mbah Maridjan yang berbentuk nisan. Di sebelah baratnya, satu unit mobil APV—yang konon hendak digunakan untuk menyelamatkan mbah Maridjan—dipamerkan bersama foto-foto para korban yang hendak menolong saat erupsi terjadi. Sekilas, daerah tersebut nampak seperti desa mati, seandainya warung kecil yang dikelola menantu mbah Maridjan, Mursani Asih, tidak berdiri di sana.

Warung dengan nyala lampu oranye seadanya itu sebenarnya tidak nampak istimewa. Dinding dari anyaman bambu, beralaskan tanah, bertiangkan kayu. Semangat membangun kembali Kinahreja yang terpancar dari mata para penjaga warung-lah yang menghidupkan suasana. Tak pelak banyak pengunjung menyambangi warung itu. Warung Mursani menyediakan ragam buah tangan (kaos, tas batik, foto), makanan khas, hingga pop mie atau sekadar menyediakan pemesanan minum teh-kopi. “Sebelum erupsi merapi, Kinahreja sudah termasuk desa wisata. Dulu saya membuka warung di depan rumah, persis di tempat APV itu sekarang dipajang,” tutur Mursani.

Meski warungnya buka hingga pukul 19.00, Mursani tidak tinggal di sana. Dia kini menempati shelter Plosokerep, berlokasi di sebelah selatan lapangan golf Kaliurang. Karena tidak betah tinggal di shelter, dia mengaku hendak berusaha memperoleh kehidupan yang lebih layak. Dari hasil penjualan warungnyalah dia kini mengumpulkan dana untuk mengikuti program relokasi mandiri. “Dulu ada 10 rumah di sekitar kediaman kami, mau ikut relokasi ke dekat shelter,” ujar Mursani sembari membereskan beberapa dagangannya, “Totalnya ada 87 Kepala Keluarga (KK) di daerah sini.”

Pemerintah tidak ikut serta membiayai program relokasi tersebut. Hanya beberapa LSM dan media mainstream yang menyalurkan dana. “Untuk yang meninggal, cuma dikasih Rp6 juta, Mbak, sama pemerintah,” ucapnya lirih, “terus, jatah hidup yang janjinya dikasih setiap bulan, baru dikasih untuk dua bulan, jadinya cuma Rp300.000. Padahal sudah setahun...”

Tidak seperti kebanyakan penduduk di sana, Mursani memang patut optimis dia dapat mengumpulkan dana untuk relokasi. Setiap Sabtu dan Minggu, banyak wisatawan lokal berfoto di depan mobil APV yang selalu akan mengunjungi warungnya guna membeli makanan serta oleh-oleh. Pada hari-hari biasa, selalu ada minimal 9-10 orang. Untung dari penjualan lantas ditabungnya sedikit-sedikit.

Sore itu pun, serombongan keluarga datang berkunjung. Salah satu rombongan keluarga, keluarga Hidayat—pria asal Jakarta berdomisili di Makassar—bahkan mengajak sembilan anggota keluarganya turut serta merasakan suasana di rumah Mbah Maridjan. Tak lupa ia mampir ke warung, memesan beberapa pop mie dan teh hangat untuk mengganjal perut. Sambil menyantap pop mie di pegangan tangan, mereka memilih-milih kaos dan beberapa suvenir.

Hidayat mampir di warung itu dengan masih menenteng dan menyorotkan handycam-nya ke arah Mursani. Wanita berusia 50-an itu kemudian, sambil menyeduhkan pop mie, diminta bicara, “Saya Mursani, istrinya Pak Asek. Suami saya putra ketiga Mbah Maridjan dari lima bersaudara.” Setelahnya, Hidayat mengajak Mursani mengobrol dan bersenda gurau.

“Saya tertarik membaca tulisan ‘Kami Siap Bangkit Kembali’ di wilayah ini, terutama di warung ini. Saya kagum, tidak ada peminta-minta di sini. Orang-orang sini pasti percaya kalau di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Saya dengar memang begitu. Maka itu, saya ajak anak-anak supaya mereka memahami ini.” Hidayat menjelaskan alasan ketertarikannya berkunjung sembari mengambil se-cup lagi pop mie untuk disantap. Kami pun sempat membeli keripik singkong seharga Rp7.500, jahe merah Rp15.000, serta grubi Rp7.500. Semua panganan itu hadir dalam bungkus-bungkus besar.

Rombongan keluarga Hidayat dipandu Warno Utomo. Jaket coklat dan topi hitam, beserta celana hijau army, dan sepatu kulit coklat tua yang ia kenakan menggambarkan secara kental sosoknya. Yakni sebagai seorang pria gunung yang acapkali menawarkan diri menjadi pemandu lokal dadakan untuk daerah wisata Kinahreja. “Tadi kebetulan Pak Hidayat berhenti di warung, di sebelah Kali Kuning, jadi saya tanyai ‘mau ke mana, Pak?’. Kebetulan ia mau naik, jadi saya tawarkan untuk mengantar ke atas.” 

Ia menuturkan, sebelum erupsi Merapi pengunjung yang datang biasanya langsung bertemu dengan Mbah Maridjan. “Waktu itu, mereka ndak butuh saya buat jadi pemandu. Tapi sekarang, saya bisa jadi pemandu. Biasanya, di sini ramai pas Sabtu dan Minggu. Uangnya lumayan,” kisahnya. 

Kini Warno tinggal di warung dekat shelter, ia tidak mampu membiayai program relokasi. “Uangnya cuma cukup buat hidup, saya enggak ada dana untuk daftar. Karena kalau mau ikut, mesti beli tanah sendiri, dan itu biayanya banyak, Mbak,” ia berhenti sejenak, “ya, saya ini anaknya banyak, Mbak. Pertama sudah nikah, yang kedua SMP baru dua tahun, eh, malah enggak diterusin. Sekarang nganggur di rumah. Terus yang lain masih sekolah, masih SD. Biaya buat itu saja kurang, Mbak.” 

Sekolah anaknya kini terletak 100 meter dari Balai Desa Umbulharjo di Jalan Merapi Golo. Bangunannya berdinding bambu, beratap seng. “Dulu sekolah anak saya di Pangurejo, letaknya sebelah gerbang masuk masih ke atas lagi. Kalau saya ada uang, ya, saya pasti ikut relokasi, tapi ya gimana?” Harapan masih terpancar dari matanya. 

Lain cerita dengan Nurrohman, pria berusia 35 tahun tersebut lebih memilih menyalurkan dana untuk membangun rumah permanen di daerah Kinahreja dibandingkan mengikuti program relokasi. Di rumah permanen itu ia dan ibunya kini tinggal. Ibunya adalah anak pertama Mbah Maridjan. Dari sejarah hidupnya, terdapat garis merah antara keluarganya dengan daerah itu, yang ia tidak ingin lupakan begitu saja. Karena itu, ia bahkan tidak menghiraukan larangan pemerintah untuk tidak membangun gedung permanen di wilayah KRP3—yang juga melingkupi sekitar daerah Kinahreja. 

Matanya berkaca-kaca. Ia pun mulai menceritakan detail kejadian pada tanggal 26 November 2010. “Waktu itu, meski bahaya sudah kelihatan, kami masih bertahan. Waktu itu Gegana Apian (alat pendeteksi erupsi—pen.) sudah bunyi. Merapi erupsi, sirinenya terlambat berbunyi, Mbak,” tuturnya. 

Ketika itu, mereka tidak bergegas menyelamatkan diri. “Saya ingat kejadian tahun 2006, Mbak. Waktu itu ada erupsi Merapi juga, meski katanya skala kecil. Selama tiga bulan ada suara gemuruh setiap pagi. Padahal, menurut saya, yang tahun 2006 lebih parah daripada yang 2010,” ujarnya. Sayangnya, ketika mereka akhirnya memutuskan untuk mengungsi, kebanyakan KK hanya memiliki satu motor untuk digunakan mengungsi. Sementara, menurut Nurrohman, satu keluarga bisa saja terdiri atas lima orang. Tiga puluh enam orang meninggal pada kejadian itu. “Karena itu untuk menyelamatkan diri juga jadi susah, Mbak.”  

Alasan kedekatan keluarganya dengan Merapi-lah yang menjadikan mereka tetap setia tinggal di sana. Bahkan saat itu—hujan mulai turun deras—ia berusaha mengenang saat-saat terakhir berkumpul bersama keluarga. Tepat satu jam sebelum Adzan Maghrib pada saat erupsi Merapi terjadi, ketika mereka hendak makan bersama, ia diminta untuk berkunjung ke rumah Mbah Maridjan, eyang kakungnya. Seperti yang telah diketahui umum, Mbah Maridjan tidak bersedia meninggalkan rumah karena baginya di sanalah tanah kelahirannya, dan lagipula ia mengampu amanah Sultan Hamengkubuwono IX sebagai juru kunci Merapi. “Tiga hari sebelum kejadian, Mbah baru pulang dari Bandung, jadi saya dan adik disuruh ibu buat mampir ke atas. Waktu itu sudah ada satu reporter di rumah. Reporter itu ikut meningal.”

Kini, walau telah membangun rumah permanen, ia mengaku masih tinggal di shelter. Di sana, ia beternak lele bersama para pengungsi lainnya. Ia menyampaikan, kebanyakan penghuni shelter berusaha mengumpulkan uang untuk relokasi mandiri. “Untuk relokasi, perlu minimal Rp9 juta, Mbak. Kalau mau rumah yang dekat jalan, minimal Rp16 juta di awal. Ya saya mending beli semen dan batako sama pasir sendiri dan bangun rumah di sini.”

Sementara itu, rumah permanen yang ia bangun menghabiskan biaya hingga Rp27 juta. Ketika sekali lagi ditanyai mengenai regulasi pemerintah yang melarang pembangunan gedung permanen di daerah itu, Nurrohman masih berkilah. “Sampai sekarang, enggak ada teguran dari pemerintah. Pokoknya orang-orang di sini ndak akan ikut relokasi,” tandasnya. [*]

Tulisan Terdahulu